Hal ini telah dibuktikan dengan kualitas teknik dan musikalitas para pemusik yang tampil kemarin.
“Setelah 2024 musik klasik Indonesia menoreh sejarah dengan Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+) saya lihat semakin lama para musikus muda semakin fokus. Di bidang vokal, semoga karya-karya saya bisa menarik para vokalis untuk mendalami dunia sastra, karena lagu-lagu saya selalu berdasarkan puisi-puisi yang berkelas dan inspiratif,” ucapnya.
Di antara para finalis saja mereka menyanyikan tembang puitik berdasarkan puisi dari Penyair Sitor Situmorang, Emi Suy, Wiji Thukul, Nanang Suryadi, Sapardi Djoko Damono dan juga Penyair Internasional seperti Emily Dickinson, Walt Whitman dan William Shakespeare.
“Semoga Rapsodia Nusantara saya membuat para pianis dan fans mereka untuk lebih sadar betapa kayanya musik daerah kita. Beda propinsi, beda bahasa itu berarti beda sistem ritmis, struktur melodi, bahkan tangga nadanya. Negara kita sangat kaya dengan seni dan budaya, dan itu yang ingin saya ajak para musikus klasik di negeri kita ini untuk ikut menyadari dan mencintainya” kata Ananda Sukarlan.
Ada banyak perubahan untuk Ananda Sukarlan Award 2025 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Terutama untuk kategori tembang puitik, ada satu syarat yang telah direvisi oleh Ananda Sukarlan sendiri seperti para penyanyi tingkat profesional (18 tahun ke atas) harus menyanyikan 3 (tiga) lagu dari 3 penyair Indonesia yang berbeda (selain lagu klasik “barat” seperti karya Franz Schubert, Aaron Copland dan komponis “Barat” lainnya).
Perubahan ini disebabkan banyaknya penyanyi yang memiliki penyair favorit (terutama Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar atau Joko Pinurbo) di edisi-edisi sebelumnya menyanyikan 3 lagu, semuanya dari penyair yang sama.
Revisi “3 penyair yang berbeda” ini memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeksplorasi karya-karya penyair lain, bahkan dari nama-nama yang jarang dan belum pernah mereka dengar sebelumnya, termasuk para penyair muda.
“Kompetisi Piano Nusantara Plus benar-benar telah menggeser paradigma generasi alpha dalam musik klasik. Usia semakin muda, dan kualitas semakin tinggi. Ini tentu berdampak ke Ananda Sukarlan Award dan juga berbagai kompetisi lainnya yang biasanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah musik. Kelihatannya AI [artificial intelligence – red] juga menyadarkan banyak orangtua bahwa pekerjaan sebagai seniman -lah yang masih belum bisa digantikan oleh AI, sehingga mereka semakin terbuka dengan anaknya bermusik”, lanjut sang pianis lulusan Koninklijk Conservatorium di Den Haag, Belanda dengan predikat summa cumlaude ini.
Komponis Ananda Sukarlan – yang juga penerima penghargaan tertinggi dari dua negara- yaitu Royal Order of Isabella the Catholic (Real Orden de Isabel la Catolica) oleh Kerajaan Spanyol, dan Cavaliere Ordine della Stella d’Italia dari Presiden Sergio Mattarella.
Ananda Sukarlan Award merupakan kompetisi musik klasik yang telah menelurkan musikus klasik terbaik di tanah air. Didirikan oleh Pia Alisjahbana (pendiri media Femina Group) dan Dedi Panigoro (MEDCO) tahun 2008 untuk mencari pianis muda terbaik.
Mereka kemudian mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) juga bersama Chendra Panatan, manager Ananda. Ketiga tokoh tersebut hadir di konser ini.
Sedangkan di Surabaya, tembang puitik Ananda Sukarlan didirikan oleh Patrisna May Widuri (Amadeus Enterprise) tahun 2011 untuk vokalis yang kemudian meroketkan nama-nama seperti Mariska Setiawan, Isyana Sarasvati.
Pada tahun 2023 soprano 14 tahun Shelomita Amory baru saja rilis rekamannya “Three Dickinson Songs” di spotify. Sejak masa pandemi Ananda Sukarlan menggabungkan dua kompetisi tersebut bahkan membukanya untuk semua instrumen.
Babak final ASA tahun ini yang merupakan titik temu semua pemusik di bawah usia 32 tahun paling berbakat di Nusantara (dan tanpa batas usia termuda!) akan diadakan tanggal 12 dan 13 Juli 2025 mendatang.(Lasman Simanjuntak)