JAKARTA-Menonton video pembacaan puisi berjudul ” Gulagalugu Suara Nelayan” dari Penyair Giyanto Subagio, bisa mengundang kita untuk menontonnya berulangkali karena penasaran.
Apa ada yang menarik dari pembacaan puisi penyair yang rajin dan setia ‘bersastra ria’ khususnya di area Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta ini.
Pada acara “Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka” sekaligus diskusi sastra dan peluncuran buku antologi puisi REPUBLIK PUITIK dan MANIFESTO JABODETABEK- bersama Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang diketuai Octavianus Masheka -di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, TIM, Jakarta, Minggu lalu (28 September 2025).
Penyair Edo-panggilan akrabnya-membaca puisi dengan tenang, teduh, dan sangat menjiwai.
Bahkan enak dan nikmat didengar oleh penontonnya, sehingga tak bosan mengikuti bait per bait serta larik per larik puisi yang dibacakan dengan vokal berirama ini.
Inilah yang menjadikan misi yang ingin dicapai dalam puisi “kritik sosial ” tersebut telah sampai kepada para penikmat sastra, terutama ketika puisi dibacakan di ruang tertutup (in door), bukan di ruang terbuka publik (out door).
Penyair Giyanto Subagio selalu tampil dengan sederhana, tak meledak-ledak.Nyaris seperti lontaran suara keras yang “berteriak-teriak” di padang gurun pasir.
Sungguh memekakkan telinga (berisik)-seperti umumnya dilakukan penyair pemula baca puisi di ruang tertutup- sehingga kurang ‘konsentrasi’ untuk menikmati sebuah karya seni bernilai (estetika) tinggi.
Puisi akan lebih ‘kuat’ dan nikmat dibacakan dengan musikalisasi atau nyanyian lagu.Itulah style atau gaya pembacaan puisi dari Penyair Giyanto Subagio.
Berikut kita baca puisi
Giyanto Subagio
GULAGALUGU SUARA NELAYAN *1
buih-buih memercik di kiri kanan *2
ikannya melompat-lompat *3
ini tentang kisah nelayan tua
tanpa perahu di tepi pantai dan senja hari
matahari angslup ke balik laut
malam kelam
bulan muram
ia membayangkan laut luas tanpa pagar bambu
ia tak ingin mendengar ratapan kepiting-kepiting
ia tak ingin mendengar jeritan udang-udang
ia tak ingin mendengar
rintihan ikan-ikan mati
ia tak ingin melihat rawa-rawa ditanami mal dan plaza
ia tak ingin melihat muara ditumbuhi hotel dan apartemen
ia tak ingin melihat bayangan pagar bambu seperti monster laut yang begitu menakutkania tak ingin mendengar dan melihat perahu-perahu nelayan terkapar di tepi pantai
Jakarta, Februari, 2025
*1 Judul lagu Gulagalugu Suara Nelayan karya Leo Kristi
*2 Lirik dari lagu Gulagalugu karya Leo Kristi
*3 Lirik dari lagu Gulagalugu karya Leo Kristi
Puisi Mendapat Penghargaan
Giyanto Subagio bernama asli Sugiyanto, lahir 7 Desember 1970 di Jakarta. Pria ini dikenal dengan panggilan, Edo. Puisi-puisinya dimuat di berbagai media massa, dan media sosial antara lain: Tabloid Hikmah, Majalah Romansa, Majalah Imajio, Buletin Swara Mentaya Estetik, Majalah Ceria Remaja, Media Sastra Semesta, Media PojokTIM, serta lainnya.
Puisinya yang berjudul “Ode
Perkampungan Nelayan” mendapat penghargaan Juara II Lomba Cipta Puisi Hari Nusantara, 2000, dan puisinya yang berjudul “Aphrodite” nominasi 50 Lomba Cipta Puisi Bentara Budaya Bali.
Selain itu karya puisinya juga masuk 100 puisi terbaik Lomba Cipta Puisi Al Qur’an.Puisi-puisinya tergabung lebih di dalam 30-an antologi puisi bersama, antara lain, Antologi Puisi Trotoar (Roda-Roda Budaya,1996), Antologi Puisi Indonesia (Komunitas Sastra Indonesia,1997),
Nuansa Tata Warna Batin (HP3N, 2000), Malam Bulan ( Masyarakat Sastra Jakarta, 2002), Bisikan Kata Teriakan Kota (Dewan Kesenian Jakarta, 2003), Jogya 5,9 Skala Reahter (Komunitas Sastra Indonesia, 2006), Komunitas Sastra Indonesia: Catatan Perjalanan (Komunitas Sastra Indonesia, 2008).
Selanjutnya Buku Puisi Lampion Sastra (Dewan Kesenian Jakarta, 2008), Buku Puisi Lomba Cipta Bentara Budaya Bali (Bali, 2011), Negeri Cincin Api (Lesbumi, 2011), Sragen Membaca Indonesia (Sosiawan Leak dkk, 2012), Buku Puisi Pertemuan Sastrawan Mitra Praja Utama ke- VII (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jogyakarta, 2012), Antologi Puisi Bahari ke- 2 (Dewan Kesenian Tanggerang), Buku Puisi Pertemuan Sastrawan Mitra Praja Utama ke- VIII (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI, Jakarta, 2014), Buku Puisi 100 terbaik Al Quran (Persaudaraan Muslimin Indonesia), Klungkung; Tanah Tua, Tanah Cinta ( Yayasan Nyoman Gunarsa, 2016),The First Drop Of Rain (Banjarbaru, Kalimantan Selatan), Rindu Rendra (Yayasan Daya Cipta, Rendra, 2019).
Corona (Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia, 2020), Perempuan Pengantin Puisi dalam Opera Tujuh Purnama (JSM dan Tera Book Jakarta, 2021), Tirtayasa Madukoro Baru (Lampung, 2022), Eril dalam Untaian Kata Penyair Indonesia (Takasi, 2022), Kampung Kelahiran (Balai Bahasa Pare-Pare), Larung Sastra (Dapur Sastra Jakarta, 2023), Gedor Depok (Koloni Seniman Ngopi Semeja, 2024), Aku Presiden (Taman Sastrawan Indonesia, 2024), Jejak Masa Depan (JSM dan Tera Book Jakarta, 2024).
Purnama Puisi Ambang Ramadhan (PojokTIM dan Rumah Baca Ceria, 2025), Nirkabel Kenangan (JSM Pres, Jakarta, 2025), Buitenzorg (Dewan Kesenian Bogor, 2025), KosaKata Kota (Komunitas Sastra Jakarta Barat, 2025), dan Sekumpul Puisi Nelayan Pantura (Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia, 2025).