Kritik terhadap kebangkitan Masyumi Reborn juga muncul dari kalangan umat Islam sendiri. Sebagian pihak menilai bahwa partai ini tidak lebih dari alat bagi elit politik untuk meraih kekuasaan. Ketiadaan figur pemimpin yang kuat dan kharisma ideologis seperti Mohammad Natsir atau Sjafruddin Prawiranegara di masa lalu juga menjadi salah satu kelemahan partai ini. Dalam konteks ini, Masyumi Reborn harus mampu membangun struktur organisasi yang solid dan memunculkan pemimpin yang visioner untuk meyakinkan publik bahwa mereka serius dalam perjuangan politiknya.
Tidak dapat dipungkiri, kebangkitan Masyumi Reborn juga menimbulkan pertanyaan tentang relevansinya dalam politik modern. Dengan munculnya banyak partai politik berbasis Islam, seperti PKS, PPP, dan PAN, persaingan untuk mendapatkan dukungan dari umat Islam menjadi semakin ketat. Masyumi Reborn harus mampu menjelaskan apa yang membedakan mereka dari partai-partai lain. Apakah mereka hanya menawarkan narasi sejarah dan nostalgia, atau benar-benar membawa ide baru yang mampu menjawab tantangan zaman?
Pada akhirnya, motivasi di balik kebangkitan Masyumi Reborn berada di antara ambisi ideologis dan kepentingan politik pragmatis. Di satu sisi, ada keinginan untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan Islam yang inklusif dan berkeadilan. Namun di sisi lain, pragmatisme politik tampak jelas dalam strategi mereka menggunakan nama besar Masyumi untuk menarik perhatian publik. Masa depan Masyumi Reborn sangat bergantung pada sejauh mana partai ini mampu menyeimbangkan antara ideologi dan pragmatisme, serta bagaimana mereka menjawab tantangan sosial-politik yang dihadapi Indonesia saat ini.
Untuk memastikan keberhasilan, Masyumi Reborn harus mampu membangun koalisi yang luas di antara umat Islam dan menawarkan agenda yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Jika tidak, mereka berisiko menjadi partai kecil yang hanya dikenal karena nama besar sejarahnya tanpa memberikan dampak nyata bagi bangsa. Dalam politik, keberlanjutan dan relevansi adalah kunci, dan Masyumi Reborn harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya menjadi pengingat masa lalu, tetapi juga bagian penting dari masa depan Indonesia.
Partai Masyumi Reborn dalam Isu Politik Identitas?
Partai Masyumi Reborn, yang didirikan pada 7 November 2020, merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kembali ideologi politik Islam yang pernah berjaya di Indonesia pada era 1940-an dan 1950-an. Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin terpolarisasi, kebangkitan Masyumi Reborn tentu tidak lepas dari konteks politik identitas yang semakin mendominasi di ruang publik.
Politik identitas, yang mengedepankan perbedaan berdasarkan agama, suku, ras, dan golongan (SARA), telah menjadi alat penting dalam menarik dukungan politik, khususnya dalam kalangan umat Islam. Oleh karena itu, Partai Masyumi Reborn dihadapkan pada tantangan besar untuk menentukan posisinya dalam menghadapi isu politik identitas yang semakin tajam.
Masyumi, yang pertama kali didirikan pada 1945, dikenal sebagai partai yang memperjuangkan politik Islam dan cita-cita negara yang berdasarkan nilai- nilai agama. Pada masa itu, Masyumi mampu menggalang kekuatan politik yang signifikan, bahkan menjadi salah satu partai besar yang memiliki pengaruh di kalangan umat Islam. Namun, setelah pembubarannya pada 1960 oleh Presiden Sukarno, partai ini tidak pernah kembali lagi ke panggung politik Indonesia, meskipun ada upaya-upaya untuk menghidupkannya kembali.
Kebangkitan Masyumi Reborn bisa dilihat sebagai respons terhadap penurunan perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu-pemilu terakhir, serta kegelisahan sejumlah kelompok Islam yang merasa terpinggirkan dalam politik Indonesia. Partai ini menawarkan kembali ideologi yang kuat dan mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai landasan utama perjuangannya. Dalam konteks ini, politik identitas berbasis agama menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari strategi yang diterapkan oleh Masyumi Reborn. Menggunakan simbol dan sejarah partai Masyumi yang ikonik, partai ini mencoba membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam berpolitik dan menegaskan eksistensi politik Islam di Indonesia.
Namun, penggunaan identitas agama sebagai basis mobilisasi politik tidak lepas dari tantangan besar. Politik identitas berbasis agama, meskipun bisa efektif dalam menarik dukungan dari kelompok tertentu, berisiko memperburuk polarisasi di masyarakat yang sudah semakin terfragmentasi. Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim tetapi juga dengan keberagaman suku dan agama yang besar, membutuhkan politik yang inklusif dan mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat, bukan memecah belah berdasarkan garis identitas sempit.
Oleh karena itu, Masyumi Reborn harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam politik identitas yang eksklusif, yang dapat menciptakan ketegangan sosial dan memperburuk polarisasi di tingkat nasional. Itu bisa kita lihat dalam sejarah politik identitas berbasis agama menjadi semakin intensif, terutama setelah Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, di mana isu agama menjadi senjata utama dalam membangun narasi politik. Akibatnya, masyarakat menjadi terfragmentasi, dengan identitas agama sebagai garis pembatas yang memperkuat polarisasi sosial.