Kebangkitan Masyumi Reborn bisa dilihat sebagai respons terhadap penurunan perolehan suara partai-partai Islam dalam pemilu-pemilu terakhir, serta kegelisahan sejumlah kelompok Islam yang merasa terpinggirkan dalam politik Indonesia. Partai ini menawarkan kembali ideologi yang kuat dan mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai landasan utama perjuangannya. Dalam konteks ini, politik identitas berbasis agama menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari strategi yang diterapkan oleh Masyumi Reborn. Menggunakan simbol dan sejarah partai Masyumi yang ikonik, partai ini mencoba membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam berpolitik dan menegaskan eksistensi politik Islam di Indonesia.
Namun, penggunaan identitas agama sebagai basis mobilisasi politik tidak lepas dari tantangan besar. Politik identitas berbasis agama, meskipun bisa efektif dalam menarik dukungan dari kelompok tertentu, berisiko memperburuk polarisasi di masyarakat yang sudah semakin terfragmentasi. Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim tetapi juga dengan keberagaman suku dan agama yang besar, membutuhkan politik yang inklusif dan mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat, bukan memecah belah berdasarkan garis identitas sempit.
Oleh karena itu, Masyumi Reborn harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam politik identitas yang eksklusif, yang dapat menciptakan ketegangan sosial dan memperburuk polarisasi di tingkat nasional. Itu bisa kita lihat dalam sejarah politik identitas berbasis agama menjadi semakin intensif, terutama setelah Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, di mana isu agama menjadi senjata utama dalam membangun narasi politik. Akibatnya, masyarakat menjadi terfragmentasi, dengan identitas agama sebagai garis pembatas yang memperkuat polarisasi sosial.
Dampak politik identitas yang berlebihan sangat merugikan. Polarisasi yang terjadi tidak hanya merusak persatuan bangsa, tetapi juga menciptakan ketegangan sosial yang berpotensi memicu konflik horizontal. Dalam jangka panjang, praktik ini dapat mengurangi rasa saling percaya antar kelompok masyarakat, melemahkan kohesi sosial, dan menurunkan kualitas demokrasi. Politik identitas yang eksklusif juga sering kali menutup ruang dialog dan kerja sama antara kelompok-kelompok berbeda, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membangun bangsa yang majemuk.