JAKARTA– Buku berjudul “Serat Panji Pudhak Lelana” adalah salah satu karya Naufal Anggito Yudhistira yang berupa roman Panji dengan bahasa Jawa dan ditulis dalam tembang macapat.
Karya ini menceritakan kisah perjalanan Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. Karya ini mengangkat cerita tentang Panji yang berkelana hingga negeri Tumasik dan Dewi Sekaartaji yang menyamar sebagai laki-laki bernama Pudhaklelana.
“Keduanya adalah kekasih yang sudah dijodohkan sejak masih belia, namun terpisah mengikuti perjalanan takdir. Mereka saling menemukan, lalu kembali terpisah,” cerita Naufal Anggito Yudhistira dalam keterangan tertulis disampaikan Rabu (3/12/2025).
Bahkan, lanjutnya, Panji Asmarabangun sempat tertimpa petaka menjadi ikan gabus putih. Akhir petualangan cinta mereka adalah bersatunya kembali Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji.
Perkenalan dengan Cerita Panji
Perkenalan Naufal Anggito Yudhistira dengan cerita Panji tidak lain bermula dari dongeng dan cerita rakyat yang biasa dibacakan oleh neneknya, seperti cerita Keong Mas dan Cindhe Laras.
Kisah Panji juga dikenalnya dari VCD pertunjukan Kethoprak dengan judul Kirun Edan Bagyo dadi Ratu, yang bersumber dari cerita Panji Angreni. Walaupun pada masa lalu cerita Panji sangat populer dalam budaya Jawa, namun di abad ke-21 sudah tidak loagi populer.
Hal ini yang membuat cerita Panji tidak cukup berbekas dalam benak Naufal Anggito Yudhistira. Hal ini cukup berbeda dengan epos besar Ramayana, Mahabarata, dan Damarwulan yang masih dikenalnya dengan cukup akrab karena terkait dengan lakon pertunjukan.
Di dalam seni pertunjukan, tari-tari bercerita Panji sebetulnya tidak merupakan hal yang asing bagi Naufal Anggito Yudhistira. Tari seperti Bugis Kembar, Handaga Bugis, Topeng Gunungsari, Klana Topeng, Karonsih, dan lain sebagainya sudah sering disaksikannya sejak kecil. Bahkan, tari Klana Topeng menjadi salah satu tari putra gagah gaya Surakarta kesukaannya ketika masa SD-SMP.
Walaupun sudah terpapar dengan tari-tari bernuansa Panji di masa kecilnya, kesadaran dan kecintaannya tentang cerita Panji belum tumbuh hingga berkuliah.
Ketertarikan Naufal Anggito Yudhistira pada cerita Panji muncul setelah mengikuti Seminar Internasional Panji-Inao di Perpustakaan Nasional saat masih menjadi mahasiswa tingkat 1 di Prodi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Universitas Indonesia.
Dari sana, muncul suatu keinginan untuk mempelajari sastra dan pertunjukan berbasis cerita Panji. Salah satu bacaan penting yang membawanya masuk lebih dalam ke dalam dunia Panji adalah tesis dari dosennya, yaitu Bapak Karsono H Saputra.
Selain itu buku berjudul “Tjeritera Pandji dalam Perbandingan” karya Poerbatjaraka menjadi pintu masuknya ke dalam kajian Panji.
Dari proses pengenalan itu, Naufal Anggito Yudhistira makin menyelami kekayaan sastra dan pernaskahan Panji. Hal ini pula yang membawanya mengenal berbagai teks sastra Panji yang muncul dari tradisi Pesisiran dan Keraton-keraton Jawa. Selain itu, ketertarikannya kian berkembang setelah mengenal pertunjukan wayang gedhog.
Proses Anulad Kawi Radya
Salah satu cara belajar yang dilakukan Naufal Anggito Yudhistira untuk menambah wawasannya adalah dengan membaca dan menyalin karya-karya sastra Jawa klasik dengan aksara Jawa.
Selain itu, Naufal Anggito Yudhistira juga perlahan-lahan mulai mencoba menggubah karyaa sastra berbentuk tembang macapat sejak S1. Karya-karya itu kebanyakan belum terbit.
Salah satu karya tulisannya yang sudah diterbitkan adalah “Serat Panji Pudhak Lelana”. Proses belajar semacam itu memang termasuk aneh.
” Walau begitu, saya terus cara belajar dengan menyalin dan menggubah karya sastra berbentuk tembang macapat itu merupakan cara yang sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman sastra dan bahasa Jawa,” katanya lagi.
Mengapa muncul keinginan bagi Naufal Anggito Yudhistiraa untuk menyalin berbagai serat dan menggubah berbagai serat baru? Hal ini tidak lain adalah keinginan untuk menguasai kesusastraan Jawa sebagaimana mestinya.
Menguasai kesusastraan Jawa tidak bisa dilaakukan dengan cara modern. Penguasaan kesusastraan Jawa juga berarti menguasai baca-tulis aksara Jawa, menguasai tembang, menguasai keragaman gaya bahasa, dan kebudayaannya.
Kesadaran perlunya melestarikan kemampuan “kapujanggan” tidak hadir begitu saja. Orang Jawa selalu bangga dan lantang menyebut Ranggawarsita sebagai pujangga wekasa/pujangga pamungkas ‘pujangga penutup’.
Mengapa orang Jawa justru bangga? Bukankah dengan demikian maka orang Jawa mengamini “kematian” dari keilmuannya? Pujangga bukan sekedar sastrawan, namun juga cendekiawan.
Bahkan, dahulu pujangga acap kali masuk dalam jajaran paranpara nata ‘penasehat-lembaga pertimbangan raja’ di keraton-keraton Jawa.
Dalam tradisi kepujanggaan Jawa, seorang pujangga tidak serta-merta dipandang seperti “pujangga” atau “sastrawan” dalam sudut pandang sastra Indonesia moder. Pujangga harus memiliki kemampuan dalam bahasa Jawa, bahasa Jawa Kuna, kemahiran-penguasaan berbagai tembang, menguasai seni musik, berprilaku baik, berwawasan luas, mahir berbagai keterampilaan, menguasai berbagai pengetahuan, bahkan mampu menguasai berbagai aspek kasat mata dan tidak kasat mata.








