Buku Berjudul ” Serat Panji Pudhak Lelana ” Karya Naufal Anggito Yudhistira dan Proses Kreatifnya

Hal itu menjadi kehebatan para pujangga terdahulu, seperti yang dimiliki Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita, Sindusastra, Pangeran Karang Gayam, Mangkunegara IV, Pakubuwana IV, Nyi Sastrawanudya, dan lain sebagainya.

Walaupun hampir mustahil menguasai kesusastraan Jawa sebagaimana para pujangga terdahulu, namun upaya belajar dengan menyalin dan menggubah serat adalah upaya mendekat dan menapaki pengetahuan dari para pujangga yang berhasil sampai pada generasi ini.

“Proses ini boleh dikatakan sebagai upaya aniru-niru kawi radya ‘meniru para pujangga keraton’. Dengan begitu, pengetahuan sastra Jawa tidak akan ditafsirkan, diwariskan, dan dikembangkan dengan serampangan. Namun demikian, pengetahuan itu dapat dipahami dengan mendekati kedalaman rasa di dalamnya,” ujar Naufal Anggito Yudhistira, Kandidat Doktor Ilmu Susastra pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.

Keinginaan untuk menulis karya-karya sastra baru dilakukan cukup tertatih-tatih. Kesulitan dalam merangkai kata-kata menjadi selaras dengan keindahan bahasa sekaligus patokan tembang menjadi suatu tantangan tersendiri.

Hal ini tentu menjadi upaya menghasilkan karya yang halus dan mendalam. Walaupun “Serat Panji Pudhak Lelana” bukan merupakan karya roman berbahasa Jawa terbaik yang dibuat Naufal Anggito Yudhistira, namun karya ini adalah titik tolak bagi Naufal Anggito Yudhistira untuk mencoba menulis karya panjang dengan langsung menembangkannya tanpa membuka rumus patokan tembang.

Bacaan Lainnya

Ancangaan untuk Masa Depan

Serat Panji Pudhak Lelana itu menjadi salah satu titik tolak bagi Naufal Anggito Yudhistira dalam menulis karya berbahasa Jawa dan bertembang macapat dalam bentuk roman.

Dari segi bahasa, tampak adanya kesederhanaan pilihan kata. Baginya, karya ini menjadi titik tolak untuk mengenal cerita Panji lebih dalam lagi. Karya-karyanya terkait Panji tidak hanya dalam bentuk penelitian dan penggubahan karya, namun juga penggarapan seni pertunjukan.

Di bidang penelitian ilmiah, ketertarikannya pada cerita Panji berkembang hingga membawanya lulus S2 dengan kajian filologi pada teks Panji Jayalengkara Angreni yang digubah dalam tradisi Keraton Surakarta.
Dalam penelitian ilmiah, Panji telah diteliti olehnya dalam ranah filologi, sstra, dan kesenian.

Selain Panji Jayalengkara Angreni, ia juga sudah pernah menerbitkan suntingan teks Panji Kuda Narawangsa versi panjaang di dalam penerbitan naskah Perpustakaan Nasional RI. Ketertarikannya pada cerita Panji itu pula yang membawanya melanjutkan studi S3 di prodi Ilmu Susastra Universitas Indonesia.

Penelitian yang diangkat terkait dengan tari Bedhaya Gandrungmanis, salah satu karya tari gubahan Pakubuwana VIII yang mengambil cerita Panji Jayakusuma.

Panji yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya itu tentu sangat berkesan bagi Naufal Anggito Yudhistira. Ada satu kalimat penting dari Bapak Karsono H Saputra yang amat membekas bagi Naufal Anggito Yudhistira.

Beliau berkata, kalau Panji jadi warisan budaya dunia, lalu apa yang diwarisi Indonesia?” Kalimat ini sungguh berkesan, sebab pengakuan Panji sebagai warisan budaya dunia tentu perlu ditanggapi dengan amat bijak.

“Panji sebagai warisan budaya Indonesia, harusnya tidak hanya selesai dalam gelaran-gelaran seremoni saja, namun perlu untuk dikembangkan. Tentu pengembangan itu mengikuti cara yang berbeda-beda bagi tiap pegiatnya,” pungkasnya.(Lasman )

Pos terkait