JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyoroti pentingnya kesadaran memilih makanan bergizi guna menjaga kesehatan keluarga serta mencegah masalah gizi inter-generasi dan tiga masalah nutrisi yakni nutrisi yang kurang, defisiensi mikronutrien, dan kelebihan berat badan juga obesitas.
“Jadi kami sampaikan bahwa tantangan kita berubah. Dulu mungkin tidak bisa makan, sekarang mungkin pilihannya terlalu banyak,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes Maria Endang Sumiwi pada temu media Hari Gizi Nasional 2025 di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Menurut Maria, mutu gizi perlu disesuaikan sesuai siklus hidup, karena berkaitan dengan siklus hidup selanjutnya. Contohnya jika masalah gizi berakhir saat seorang perempuan hamil, maka hal itu dapat membantu memastikan gizi lebih baik pada generasi selanjutnya.
Ia menyebutkan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan seputar gizi. Diantaranya stunting yang masih 21,5 persen, gizi kurang pada balita 8,5 persen, anemia pada remaja 16,3 persen, kelebihan berat badan pada remaja 12,1 persen, dan obesitas pada orang dewasa 23,4 persen.
Oleh karena itu dalam perayaan Hari Gizi Nasional ke-65, pihaknya mengangkat tema “Pilih Makanan Bergizi untuk Keluarga Sehat” guna meningkatkan kesadaran publik agar memilih makanan yang bergizi.
Adapun pola konsumsi masyarakat saat ini, kata dia, konsumsi Makanan Pendamping ASI (MPASI) berprotein hewani pada balita hanya 21,6 persen.
Kemudian konsumsi minuman berpemanis tinggi pada remaja cukup tinggi, 52 persen, konsumsi buah dan sayur pada individu berusia lebih dari 5 tahun juga tidak memenuhi angka yang dianjurkan, yaitu saat ini hanya 21,96 persen.
“Konsumsi makanan dan minuman jadi ini porsi terbesar pengeluaran pada setiap kuintil. Jadi mau yang kuintil ekonomi kurang sampai dengan kuintil ekonomi tertinggi, itu semua lebih memilih makanan dan minuman jadi,” ucapnya.
Menurut Maria, makanan bergizi seimbang adalah makanan yang beraneka ragam, mencakup sayur dan buah, tinggi protein, kemudian membatasi makanan manis, asin, dan berlemak.
BACA JUGA: Arsip Program Makan Bergizi Gratis Masa Pemerintahan Belanda Dibuka untuk Publik dalam Bentuk Buku
“Kemudian sarapan pagi setiap hari cukup minum air putih dan biasakan membaca label gizi, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan juga jangan lupa supaya ini bagian dari menjaga status gizi ya, aktivitas fisik yang cukup supaya tidak overweight, tidak obesitas,” katanya.
Ia menjelaskan pemerintah membantu asupan nutrisi yang bergizi melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG), namun hal itu perlu dibarengi dengan memilih makanan bergizi secara mandiri di rumah agar nutrisi baik terpenuhi dalam tiga kali sehari.
Edukasi melalui MBG
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Badan Gizi Nasional (BGN) Ikeu Tanziha mengatakan edukasi yang diberikan melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan dapat menjadikan anak sebagai agen perubahan di keluarga, agar keluarga dapat memilih makanan bergizi dan memenuhi kebutuhan nutrisi.
MBG merupakan upaya dalam mempromosikan kesadaran memilih makanan bergizi, seperti yang disoroti oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai tema Hari Gizi Nasional ke-65.
Ikeu menyebutkan menu dalam Program MBG disajikan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) oleh Kemenkes. “Jadi kalau untuk sarapan, itu sekitar 20 sampai 25 persen. Jadi AKG dalam satu kali. Dan itu berbeda-beda. Jadi ada untuk balita, untuk anak usia sekolah. Anak usia sekolah juga berbeda-beda. SD, SMP, SMA, termasuk PAUD. Kemudian untuk ibu hamil juga berbeda,” ucapnya.
BACA JUGA : Pakar Gizi UMJ Ingatkan Peran Susu Sangat Penting dalam Program MBG
Ia juga menyebutkan setiap makan diharapkan guru menerangkan tentang menu MBG yang disajikan, agar anak paham tentang makanan yang bergizi. Dengan edukasi demikian, kata dia, anak dapat mengubah perilaku makannya dan membawa kebiasaan tersebut ke rumah sehingga anggota keluarga lain mengikuti.
Ikeu juga berharap adanya transisi dalam pola konsumsi, mengubah cara pandang anak terhadap makanan Indonesia, dari yang awalnya makan makanan kebarat-baratan menjadi memakan makanan lokal.
Ikeu menuturkan kebiasaan menyebut makanan Indonesia sebagai makanan tradisional membuat anak-anak tidak mau mengonsumsi pangan lokal.
“Nah, makanan kita itu adalah makanan budaya Indonesia. Dan budaya Indonesia juga bukan hanya tradisional, banyak yang kontemporer. Banyak yang kontemporer, yang kekinian,” katanya. (antara)