Komponis Ananda Sukarlan : Ekonomi Kreatif Itu Beda dengan Produk Seni

JAKARTA– Komponis & Pianis Ananda Sukarlan – belakangan ini-sering mengangkat karya puisi penyair nasional menjadi sebuah tembang puitik dengan iringan musik klasik.

Berikut wartawan harianterbit.news Lasman Simanjuntak (LS)- yang juga dikenal sebagai seorang penyair- melakukan wawancara eksklusif dengan Komponis & Pianis Ananda Sukarlan (AS) di Jakarta, Minggu  (9/2/2025).

Di bawah ini hasil wawancara dalam format tanya jawab .

LS : Aktivitas apa yang sedang dilakukan sekarang? Rencana ke depan apa, dalam musik klasik Indonesia ?

AS : Sebagai komponis, karya yang sedang di atas meja saya adalah “Bora Ring”, untuk orkes dengan para pemain didgeridoo dan penyanyi asli Aborigin, yang mengisahkan tentang ritual suku Aborigin.

Bacaan Lainnya

Tema hubungan Aborigin dengan Indonesia ini telah saya mulai eksplorasi di karya orkes “The Voyage to Marege’ ” tahun 2017, dan kini saya diminta lagi untuk mengangkat isu ini lewat musik. Saya menggunakan banyak puisi Judith Wright dalam riset saya.

Pertunjukan perdananya April nanti di Jakarta. Setelah itu saya berangkat ke Sydney menjadi composer in residence di Australian Institute of Music, selain sebagai dosen juga memperkenalkan musik Indonesia kepada para mahasiswa di sana.

Saya juga kini fokus ke pemberdayaan anak-anak muda karena ternyata bakat-bakat musik luar biasa sekali di Indonesia. Walaupun saya membesarkan Ananda Sukarlan Award (ASA, kompetisi musik yang didirikan oleh Pia Alisjahbana tahun 2008).

Kini saya sendiri membuat Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) yang lebih ditujukan kepada pemusik yang lebih muda, yang belum menginjak pendidikan tinggi musik untuk menjadi profesional.

Fokus yang lebih spesifik saya, yang juga lahir dengan Sindrom Asperger, adalah kaum disabilitas, bahwa disabilitas fisik / mental itu tidak boleh menjadi halangan untuk berkesenian, kalau sang penyandang memang memiliki bakat yang besar dalam seni.

Peluncuran proyek ini saya akan jelaskan di acara yang diselenggarakan Rotary Club (dimana saya mendapat kehormatan diangkat menjadi Honorary Member tahun 2023 lalu) tanggal 20 Februari nanti, di Auditorium LSPR (London School of Public Relations).

Acara itu berupa talkshow, konser dan makan malam dimana semua orang bisa berdialog. Saya akan didampingi oleh Prita Kemal Gani (pendiri LSPR dan juga ibu dari seorang pelukis autis) dan ayah dari pelukis dengan Asperger’s Syndrome, Anfield Wibowo.

LS : Bisa diceritakan proses kreatif dulu dan sekarang, apa ada kendala internal dan eksternal ?

AS : Sebelum 2017 saya lebih banyak tinggal di Spanyol, sejak itu sampai saat ini lebih banyak di Indonesia. Tapi pekerjaan saya tetap lebih banyak untuk proyek-proyek di negara lain. Kalaupun di dalam negeri, itu untuk memenuhi permintaan berbagai kedutaan atau institusi asing untuk memperkenalkan atau kolaborasi budaya negara tersebut dengan Indonesia.

Misalnya Kedutaan Ecuador meminta saya membuat musik dari berbagai puisi Jorge Carrera Andrade, Finlandia memperkenalkan musik mereka ke Indonesia (dan kemudian saya ke Finlandia untuk pendidikan dan kolaborasi budaya), Australia mengeksplorasi sejarah hubungan dengan Indonesia dengan musik saya The Voyage to Marege’ dan masih banyak lagi.

Indonesia masih belum mendalami diplomasi ini. Yang saya lihat, Kedutaan Besar RI di luar negeri masih terbatas mengundang grup-grup dangdut misalnya, untuk konsumsi para diplomat kita sendiri.

Saya mengagumi upaya duta besar RI di Helsinki, Ratu Silvy Gayatri yang mengundang saya ke Helsinki tahun lalu dan mengorganisir bukan hanya konser tapi juga pertemuan saya dengan berbagai institusi di Finlandia seperti Sibelius Academy of Music, Museum Sibelius dan beberapa tokoh penting dalam diplomasi budaya.

Saya pribadi memang sudah banyak berhubungan dengan Finlandia dan berbagai institusi serta seniman negara itu selama 25 tahun ini, tapi baru tahun lalu Indonesia terlibat dalam diplomasi budaya yang saya lakukan.

LS : Bagaimana perkembangan musik klasik di Indonesia, terutama bagi Gen Z/Gen Alpha dan untuk disabilitas (autis) ?

Luar biasa sih. Kompetisi Piano Nusantara Plus tahun lalu kami adakan di 8 kota, dan total pesertanya 477. Sekarang kita tidak bisa lagi bilang musik klasik di Indonesia tidak populer.

Bahkan musik klasik adalah genre musik yang masih belum bisa tersentuh oleh Artificial Intelligence, sehingga masa depan musikus klasik sekarang justru jauh lebih menjanjikan daripada profesi lain yang bisa digantikan oleh AI.

Musik klasik justru dinilai dari inovasinya dan kompleksitas pengembangannya, beda dengan misalnya musik Taylor Swift yang progresi harmoniknya itu-itu saja dan mengandalkan faktor eksternal seperti joget, efek visual dan tatanan panggung.

Indonesia juga kini memiliki musikus-musikus muda yang memang belum bisa tinggal di Indonesia (seperti saya sampai 2017 yang harus “cari makan” dari profesi saya dan juga untuk bisa pensiun).

Memang sih Indonesia lahannya belum bisa untuk seniman menghidupi diri sendiri murni dari berkesenian. Ada Isyana Sarasvati yang kuliah musik klasik, tapi kini menjadi musikus pop yang berkualitas. Kita ada pianis Calvin Abdiel Tambunan yang baru saja memenangkan juara ke-3 Sydney International Piano Competition, salah satu kompetisi paling bergengsi di dunia, dan Calvin memang tidak berniat balik ke Indonesia untuk sementara waktu ini, sama seperti pianis Anthony Hartono dan soprano Alice Cahya Putri yang kini tinggal di Singapura. Saya juga tidak menganjurkan mereka untuk pulang ke Indonesia karena mereka akan bisa lebih berkarya lebih produktif di luar negeri.
Kalau soal disabilitas saya sudah jelaskan di point pertama di atas, ya.

Pos terkait