LS : Apa masukkan musik klasik Indonesia untuk Kementerian Kebudayaan cw Menteri Fadli Zon ?
Jangan sampai rancu antara ekonomi kreatif dan seni / budaya. Ekonomi kreatif (EK) itu melibatkan semua yang komersial dan menghasilkan uang secara langsung, biasanya berhubungan dengan hiburan. EK melayani selera pasar, seperti musik pop / dangdut, lukisan dekoratif dan novel / cerpen yang “enak dibaca”.
Jadi kalau EK itu ibarat toko, seni dan budaya itu ibaratnya etalase dari toko tersebut. Kita kan tidak jualan barang-barang di etalase, tapi etalase itu mengundang konsumen untuk memasuki toko, merepresentasi apa yang ada di toko tersebut.
Jadi semua produk seni itu tidak menghasilkan uang secara langsung, tapi harus menunjukkan identitas toko tersebut. Nah, itu hanya salah satu dari fungsi seni / budaya.
Fungsi lain seni adalah dokumentasi sejarah. Penikmat seni akan lebih mengerti sejarah karena seni itu membuat kita untuk merasakannya, bukan hanya menghafal data-datanya.
Misalnya, pemerintah Australia telah banyak bekerjasama dengan saya sejak tahun 2000-an, di mana kami sama-sama memperingati Bom Bali yang menewaskan banyak orang Australia. Di konser tersebut saya bekerjasama dengan komponis Peter Sculthorpe, Betty Beath, Barry Conyngham dan juga banyak komponis dari negara lain dan saya berkeliling dunia memperingati kejadian itu yang telah membuka mata banyak pendengar tentang bahayanya radikalisme dan terrorisme.
Selain itu saya juga banyak menggubah Tembang Puitik berdasarkan puisi-puisi yang merefleksikan sejarah, seperti Krawang – Bekasi karya Chairil Anwar, atau kalau tema saat ini ya puisi tentang pandemi dari Goenawan Monoharto, Ewith Bahar, Hilmi Faiq. Atau tentang korupsi dan nepotisme yang gila-gilaan sepuluh tahun terakhir ini yang dipuisikan oleh Riri Satria, Budhi Setyawan dll.
Seni, khususnya musik klasik juga adalah material untuk diplomasi yang sangat kuat karena bahasa yg universal. Ide membentuk G20 Orchestra dari Kementrian Pendidikan & Kebudayaan saat Indonesia menjadi tuan rumah G20 tahun 2022 adalah sangat brilyan, dan saya menerima penunjukan sebagai pendiri dan direktur artistiknya dengan mengaplikasikan konsep saya dalam dua hal :
1. Diversitas, yaitu dalam keseimbangan gender serta keberagaman ras, latar belakang budaya serta agama dari para musikusnya dan 2. Dokumentasi sejarah, dari memprogramkan “A Child of Our Time” karya Sir Michael Tippett, isu imigrasi pertama ke Australia oleh para pelaut Makasar abad ke-18 di karya saya “Voyage to Marege’ ” sampai isu disabilitas dengan Piano Concerto no. 4 untuk tangan kiri saja dari Sergei Prokofiev.
Pertukaran budaya dalam musik klasik adalah juga melalui tugas saya sebagai dosen tamu di berbagai fakultas musik di banyak negara, seperti ke Sydney tahun ini dan tahun-tahun lalu ke Perancis, Finlandia, Spanyol, Mexico (Universidad de Monterrey), Brazil (Universidade de Campinas) dan banyak lagi.
Satu lagi perbedaan produk EK dan produk seni yang penting di era ini adalah : produk EK bisa dibikin menggunakan Artificial Intelligence, produk seni tidak (atau belum).
Selain dianugerahi penghargaan tertinggi dari Kerajaan Spanyol “Real Orden de Isabel la Católica”, Ananda Sukarlan juga pernah dianugerahi gelar kesatriaan “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” oleh Presiden Italia Sergio Mattarella pada tahun 2020.
Selain itu, seniman Indonesia pertama yang diundang Portugal tepat setelah hubungan diplomatik Indonesia dan Portugal pada tahun 2000 ini juga telah dianugerahi banyak pengakuan swasta seperti Prix Nadia Boulanger dari Orleans, Perancis.
Ananda Sukarlan adalah salah satu dari 32 tokoh dalam buku “Heroes Amongst Us (Pahlawan di Antara Kita)”, yang ditulis oleh Dr. Amit Nagpal yang diterbitkan di India. Ananda juga masuk sebagai salah satu dari 100 “Asia’s Most Influential” atau “Orang Asia Paling Berpengaruh” di dunia seni tahun 2020 oleh Majalah Tatler Asia.
Ananda Sukarlan lulus dari SMA Kolese Kanisius di Jakarta pada tahun 1986 dan kemudian melanjutkan studi di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory of Music) di Den Haag, Belanda, di mana ia kemudian lulus dengan predikat Summa CumLaude.
Karya terbarunya akan diluncurkan bulan Maret ini oleh Warner Classics yaitu “The Springs of Vincent”, berdasarkan empat lukisan tentang musim semi Vincent Van Gogh, yang dibawakan oleh pemain flute Eduard Sanchez dan pianis Enrique Bagaria.(***)