Kuburan, Kematian, dan Dewa-Dewa Kejijikan dalam Puisi Pulo Lasman Simanjuntak

Oleh : Irzi Risfandi

MENUJU KUBURAN TANPA KEMATIAN

menuju kuburan
pinggir jalan
tanpa kematian
hanya gelisah
berputar pada otak belakang
amarahku
mengeluarkan darah

di atas ranjang
terdengar suara
para dewa kejijikan
bertengkar keras
ataukah tanpa membawa
pisau belati
sejak pagihari

perkawinan ini
hanya persungutan
sekian tahun
jadi sunyi menahun

Bacaan Lainnya

ayo, kita bergegas
berangkat tancap gas
berdiri di atas tanah merah
mengangkat matahari
lembut sekali

sehingga kita mengerti
maut dan karakter diri
dapat diselesaikan
dengan rukun persaudaraan
terpisah antar benua
terbang mengerikan

sakit dan penderitaan
diselesaikan
dengan mata uang

Jakarta, Rabu, 1 Januari 2025

Puisi “Menuju Kuburan Tanpa Kematian” karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntak seolah mengajak kita jalan-jalan pagi ke tempat paling absurd yang bisa dibayangkan: kuburan, tapi tanpa kematian.

Waduh, belum ngopi saja sudah diajak berpikir miring! Tapi jangan khawatir, ini bukan puisi horor, melainkan semacam satire eksistensial yang ditulis dengan nada getir, sesekali sarkastik, dan tentu saja penuh gaya khas Lasman: penuh tikungan dan ledakan seperti jalanan Jakarta pas jam macet.

Penyair kelahiran Surabaya 1961 ini memang bukan pemain baru. Dengan ratusan puisi yang telah terbit, tampil di berbagai forum hingga ke mancanegara, dan pernah dua karya puisinya dimusikalisasi menjadi tembang puitik oleh Komponis Ananda Sukarlan pula.

Pulo Lasman Simanjuntak menulis dengan napas panjang dan kadang tersengal—tapi justru di situ letak kekuatannya.

Lihat saja bagaimana ia membuka puisi ini: “menuju kuburan / pinggir jalan / tanpa kematian”. Ini jelas bukan metafora manis-manis ala puisi Instagram.

Ini adalah bentuk kecurigaan pada hidup yang terasa seperti mati, atau barangkali kematian yang tidak kunjung terjadi secara fisik tapi sudah hidup dalam relung sosial.

Diksi “gelisah”, “amarah”, dan “darah” muncul seperti tombol sirine yang berbunyi tanpa ampun.

Ada suasana yang sekarat tapi tetap berdetak, seperti relasi yang membusuk tapi tidak putus—dan memang, puisi ini juga berbicara tentang perkawinan yang sudah jadi “sunyi menahun”.

Kemudian datanglah para “dewa kejijikan”—nah, ini dia! Gaya ashoy Pulo Lasman Simanjuntak mulai terasa. Ibarat-olah di atas kasur yang seharusnya jadi tempat rehat, justru terjadi perang ideologi antara moral, tubuh, dan kenangan yang saling menuding.

Lasman Simanjuntak tak segan menyelipkan humor pahit di tengah absurditas yang ia bangun.

Dan saat ia menulis, “bertengkar keras / ataukah tanpa membawa pisau belati”, kita seperti dicegat oleh pertanyaan tak terjawab: apakah kekerasan selalu harus berdarah, atau cukup dengan diam yang menyayat batin? Nah, silakan berpikir sambil mencuci piring.

Tapi Lasman Simanjuntak tak berhenti dalam suram. Di tengah puisinya, ia ajak kita “berangkat tancap gas” dan mengangkat matahari “lembut sekali”—sebuah ajakan untuk menyelesaikan keruwetan hidup bukan dengan kematian, tapi dengan rekonsiliasi, bahkan rukun persaudaraan.

Bayangkan, dari kasur yang dipenuhi dewa-dewa kejijikan kita tiba-tiba lompat ke tanah merah yang mengandung harapan.

Inilah kekuatan puisi ini: mengejutkan dan mengajak berdamai dalam satu napas. Ia seperti guru yang cerewet tapi sayang, menyentil kita agar tidak tenggelam dalam drama sendiri.

Dan terakhir, bait penutup menyajikan kritik yang cukup frontal namun tetap elegan: “sakit dan penderitaan / diselesaikan / dengan mata uang.”

Nah, ini bukan puisi sekadar galau. Ini berlaku terhadap sistem sosial-ekonomi global, mungkin juga terhadap praktik kapitalisme yang membuat kemanusiaan terpisah lintas benua.

Pulo Lasman Simanjuntak tidak sekadar menulis tentang mati, tapi tentang hidup yang dijajah oleh absurditas. Kuburannya memang tanpa kematian, tapi puisinya menghidupkan nalar yang sudah lama dibius rasa lelah.

Maka, jika kau masih merasa hidup tapi serasa menjadi zombie sosial—selamat, kau mungkin sedang berdiri di kuburan yang dimaksud Pulo Lasman Simanjuntak.

**/Biodata :

Pulo Lasman Simanjuntak, dilahirkan di Surabaya 20 Juni 1961. ratusan karya puisinya telah diterbitkan dalam 7 buku antologi puisi tunggal, dan 35 buku antologi puisi bersama para penyair di seluruh Indonesia.Karya puisinya juga telah diterbitkan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Republik Demokratik Timor Leste, Bangladesh, dan India.Sering diundang baca puisi di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Radio Republik Indonesia (RRI), Cafe Sastra Balai Pustaka, dan sejumlah tempat komunitas sastra di wilayah Jabodetabek.

Karya puisinya berjudul “Menulis Syair Untuk Presiden Episode Dua” dan “Meditasi Batu” telah diciptakan menjadi tembang puitik musik klasik oleh Komponis & Pianis Ananda Sukarlan.

Bekerja sebagai wartawan dan bermukim di Pamulang, Kota Tangerang Selatan-Indonesia

Kontak : 08561827332 (WA)
Medsos :
Facebook : Bro
Instagram : Lasman Simanjuntak
Tik Tok : Lasman Simanjuntak
Youtube : Lasman TV

(**/Eykel)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *