Membaca Eksistensi Manusia dan Kematian dalam Tiga Karya Penyair Anak Negeri

JAKARTA-Kematian merupakan fenomena yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Meskipun begitu, kematian selalu menjadi peristiwa yang sulit dipahami oleh rasio manusia. Dalam sastra, kematian seringkali dieksplorasi dalam berbagai bentuk, baik sebagai pengalaman pribadi yang mengerikan atau sebagai refleksi terhadap keterbatasan eksistensial manusia.

Tiga penyair anak negeri: Anto Narasoma, Yusuf Achmad, dan Pulo Lasman Simanjuntak memberikan kontribusi penting dalam menyajikan pemahaman mendalam tentang kematian dan eksistensi manusia.

Lewat karya-karya mereka, kita bisa menganalisis konsep-konsep filsafat tentang kematian yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh besar seperti K. Jaspers dan Martin Heidegger.

Pada bagian terakhir tulisan ini, saya berusaha menampilkan konsep theologi islam terkait konsep kematian sejauh dikorelasikan dengan diksi yang digunakan ketiga penyair dalam memaknainya.

1. Anto Narasoma dan “Situasi Batas”

Bacaan Lainnya

Dikutip dari Direktori Penulis Indonesia, (2023: 46), Anto Narasoma lahir di Palembang pada tanggal 16 Juni 1960. Mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sriwijaya Palembang. Menulis puisi sejak kelas 3 SD. Sejumlah puisi, cerpen, cerbung, sudah dimuat di berbagai media, buku pibadi, serta antologi bersama. Sebagai sastrawan dan jurnalis, Anto Narasoma Saat ini kerap kali dipanggil sebagai pembicara sastra di berbagai sekolah, perguruan tinggi, Balai Bahasa Sumatera Selatan, serta komunitas sastra.

DI KESUNYIAN KOMPLEKS ITU

seusai tanya jawab

antara langit dan bumi,

ruh seperti enggan

menetap pada sepenggal

jasad yang membusuk

menjadi bangkai

 

lalu ribuan nyawa pun

tertidur dalam pikiran

 

lihatlah,

di ruang pertemuan

yang luas terpapar

sesosok bangkai

tak tampak lagi

keangkuhan dan kesombongan yang diusung ke sana-sini

 

sebab batas jarak

antara perjalanan

di sepanjang fakta

pada jajaran makammu,

aku seperti seonggok tape yang dikerubuti

lalat-lalat hijau

 

begitulah ruang itu,

ramai dalam kesunyian

dan berbondong diam

dipeluk bumi

 

dari petak-petak

makam itu, aku hanya menatap sebujur kuburanku kelak,

ketika perjanjian itu

tiba di ujung kematian

 

tak ada napas

tak tampak geliat canda

dan tawa

tak ada tampilan diksi

tak terlihat sebaris kalimat yang kupilih sebagai makam

di antara sajak-sajakku

 

maka di sinilah negeri itu

negeri yang diam

penuh kesunyian

tak ada sapa dan canda

hanya kesenyapan

yang rata menjadi tanah

Palembang

28 November 2022

Dalam karya Anto Narasoma, ditulis pada tanggal 28 November 2022 lalu. Namun Narasi syairnya masih update sampai hari ini. Baginya, kematian bukan hanya sebuah peristiwa yang terjadi pada individu, melainkan sebuah pengalaman eksistensial yang menyentuh kedalaman jiwa manusia. Narasoma menghubungkan pengalaman kematian dengan konsep “Situasi Batas” atau “Grenz situation” yang diperkenalkan oleh Karl Jaspers.

Situasi Batas ini adalah kondisi di mana manusia dihadapkan pada keterbatasan dan ketidakmampuan untuk memahami keseluruhan realitas. Kematian adalah salah satu contoh nyata dari “Situasi Batas” di mana nalar manusia tidak mampu merangkul dan menggambarkan kedalaman perasaan yang muncul saat berhadapan dengan kenyataan bahwa hidup akan berakhir.

Narasoma menggunakan puisi untuk menyampaikan pengalaman ini dengan cara yang sangat personal dan mendalam. Dalam puisinya, ia mengungkapkan bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan yang muncul ketika menghadapi kematian.

“Tak ada tampilan diksi, tak terlihat sebaris kalimat yang kupilih”

Sebuah gambaran betapa kematian merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan oleh bahasa atau logika manusia. Kematian menjadi peristiwa “tak terpahami,” yang hanya dapat diterima dengan kesedihan mendalam. Melalui pengalaman ini, Narasoma menekankan bahwa “Batas” yang kita sebut kematian adalah suatu keniscayaan yang tak bisa kita elakkan, dan segala upaya untuk menjelaskan atau merasionalisasi hanya akan menemui kebuntuan.

2. Yusuf Achmad dan Kepasrahan terhadap Kematian

Yusuf Achmad, seorang penyair yang berasal dari dan dilahirkan di Surabaya, tanggal 09 Desember 1965. Mulai menulis puisi sebagai cara untuk mengekspresikan perasaan dan pemikirannya tentang kehidupan dan kematian.

Puisi “Pasang Matamu Tak Lagi Terbuka” (salah satu puisi dalam “Dan Hantu-Hantu Palsu Kupinjam” – dwi bahasa) diciptakan sebagai penghormatan untuk guru sekaligus sahabatnya, Aris Setiawan, yang wafat karena Covid-19. Aris adalah guru seni budaya yang telah memberikan banyak kontribusi di sekolah, SMK Satya Widya di Surabaya, dan saat itu Yusuf Achmad sebagai kepala sekolah periode 2008-2016 sekaligus sebagai sahabatnya.

Aris yang ringan tangan juga menciptakan lagu mars sekolah dan tari khas sekolah di mana karya ini terinspirasi dari kenangan indah bersama almarhum dan refleksinya tentang kematian.

Yusuf Achmad juga telah mendorong penulisan cerpen oleh guru dan siswa dan melahirkan tulisan karya, guru dan siswa berjudul “Ginjal untuk UNAS,” serta mendorong lahirnya buku kumpulan cerpen karya siswa bekerja sama dengan dosen UNESA Surabaya melahirkan kumpulan cerpen siswa brjudul “Rindu Tak Bersayap.”

Pos terkait