Sedangkan buku kumpulan puisi tunggal saya “Dan Hantu-Hantu Palsu Kupinjam” (dwi bahasa) dan “Belanggur di Nyamplungan.” Ia juga menghimpun buku literasi berjudul “Literasi Vocasi” sebagai ketua MKKS SMK Swasta Surabaya pada tahun 2023. Karya-karya ini mencerminkan perjalanannya dalam dunia sastra dan pendidikan, serta kontribusinya dalam memperkaya literasi dan seni di lingkungan ia berkarya secara khusus dan Indonesia secara umum.
PASANG MATAMU TAK LAGI TERBUKA
Untuk Aris Setiawan, sahabatku,
(Guru seni budaya, wafat 19-7-2020)
Para mata tanpa berkedip
Kosong, penuh kenangan
Sepasang mata menjerit,”Terlalu cepat.”
Berpasang-pasang mata penuh warna putih sedikit hitam
Menyisakan penyesalan, kesedihan teramat dalam
Sementara beberapa lainnya, bagai kedipan kamera atau Hp
Menimbulkan bayangan beraneka gambar
Wajahmu, gerak gemulai jemari senada
Ketukan gong dan not piano berjingkrak-jingkrak
Senyum, gurauan tak kan pudar lagumu
Mengiring maju petuah, jasamu
Tuk penerusmu meski ada sisa janji belum terbayar
Pasang mataku selalu ingat semua itu
Bahkan lebih hanya sekadar semua itu
Pasang mataku memancarkan gerimis
Mengantar kepergianmu
Meski namamu menempel setiap pasang mata kawan, sahabatmu
Pasang matamu menyinari berpasang-pasang mata kami
Meski matamu tak lagi terbuka seperti waktu itu
Menuju waktu menatap kekasihmu
Teduh tatapmu dalam pelukan kekasih
19-7-2020
Yusuf Achmad menulis karya sastranya di tahun 2020. Dalam puisinya, menyampaikan gambaran yang sangat emosional mengenai kematian. Ia mengungkapkan kedalaman kesedihan dan kepasrahan yang muncul ketika seseorang yang kita cintai meninggal.
“Para mata tanpa berkedip, Kosong, penuh kenangan”
Achmad menggambarkan bagaimana kematian menghentikan segala aktivitas dan membawa kesunyian yang mendalam. Mata yang terpejam tanpa berkedip melambangkan ketidakmampuan untuk melihat, sebuah ketiadaan yang hadir saat hidup berakhir. Puisi ini juga mengandung refleksi tentang waktu yang berlalu terlalu cepat.
“Terlalu cepat”
Merupakan sebuah pengakuan atas ketidakadilan waktu, yang tidak memberi kesempatan bagi kehidupan untuk sepenuhnya terwujud. Dalam hal ini, kematian menjadi pengingat bahwa waktu kita terbatas, dan tidak ada yang bisa menghindarinya. Achmad menghadirkan “kesedihan teramat dalam,” yang bukan hanya sekadar kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan makna dari hidup yang belum sempat terungkap sepenuhnya.
Dari perspektif filsafat, karya Achmad menunjukkan sikap “Amor Fati” atau mencintai takdir, termasuk takdir kematian. Amor Fati mengajarkan untuk menerima situasi, bahkan situasi yang paling sulit seperti kematian, sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Mencintai takdir berarti mengakui keterbatasan kita dan meresapi kematian sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak dapat dipisahkan. Dalam konteks ini, Achmad menyarankan bahwa meskipun kematian penuh dengan kesedihan, kita tetap harus menerimanya dengan hati yang lapang.
3. Pulo Lasman Simanjuntak dan Eksistensi Manusia Menuju Ketiadaan
Pulo Lasman Simanjuntak, dilahirkan di Surabaya 20 Juni 1961. Ratusan karya puisinya telah diterbitkan dalam 7 buku antologi puisi tunggal, dan 35 buku antologi puisi bersama para penyair di seluruh Indonesia. Karya puisinya juga telah dipublikasikan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Republik Demokratik Timor Leste, Bangladesh, dan India. Sering diundang membaca puisi di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bekerja sebagai wartawan dan bermukim di Pamulang, Kota Tangerang Selatan-Indonesia
Puisi Awal Tahun 2025
Pulo Lasman Simanjuntak
RUMAH DUKA, SAJAKKU MENGALIRKAN GENANGAN AIR MATA
rumah duka
di sini
sajakku
mengalirkan
genangan air mata
sepi terkunci rapi
di sudut ruangan
bunga mawar putih
berbaris tegak
semerbak
bau kematian
jasadnya perkasa
terbaring dingin
wangi peti mati
diawetkan
untuk satu abad
tanpa suara koor gereja
terjebak
pada kesaksian
memanjang
kadang menjemukan
ia lelaki pekerja keras, katamu
punya karakter bipolar
menggenapi
perkawinan ganjil
masa lalunya
membentur
ribuan cerita
keluh kesah
persungutan padang pasir
untuk dikremasi
kemana gerangan khotbah pandita, tanyamu lagi
ditebar sejak sianghari
menyanyikan penghiburan
bertubi-tubi
sampai menembus
tubuh penyakitan
sudah dibakar iman
yang tak bertumbuh dan berakar
konon kata penyanyi berjanggut putih;
ia mati semalam
kurang air garam
kurang asupan vitamin
kurang suntikan protein
oi, rumah duka
di sini
sajakku
mengalirkan
genangan air mata
agar kami semua
para pelayat
ingat giliran siapa
turun perlahan (pasti!)
ke dunia orang mati
sunyi abadi
terasing
sampai kami dibangkitkan
menjemput Tuhan
kekal di awan
Rumah Duka RS.Fatmawati
Jakarta Selatan, Sabtu malam 28 Desember 2024
Pulo Lasman Simanjuntak, mengekspresikan situasi batin yang sedang dialaminya. Kondisi tubuh yang kaku tak bernyawa, digotong menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Akhir tahun 2024, sebuah peristiwa kematian dialami di tengah keluarganya. Puisi yang dipublish di awal tahun 2025, ia menyoroti aspek teologis dan eskatologis dari kematian bernuansa kristiani.