Membaca Eksistensi Manusia dan Kematian dalam Tiga Karya Penyair Anak Negeri

“Terlalu Cepat” oleh Yusuf Achmad: Kematian sebagai Penyesalan dan Keterbatasan

Puisi Yusuf Achmad memperlihatkan betapa kematian bisa datang dengan sangat cepat, meninggalkan penyesalan mendalam. “Terlalu cepat,” kata yang berulang dalam puisi ini, menggambarkan sebuah perasaan yang penuh dengan penyesalan, seolah-olah kematian datang tanpa pemberitahuan. Dalam perspektif Islam, kematian memang datang secara tiba-tiba dan tidak ada yang dapat mengetahuinya. Allah berfirman dalam QS. Luqman: 34 bahwa hanya Dia yang mengetahui kapan dan di mana seseorang akan mati. Kematian yang datang dengan cepat dan tanpa diduga ini dapat menciptakan kesedihan dan penyesalan bagi mereka yang belum sempat mempersiapkan diri dengan amal shaleh.

Namun, bagi orang yang beriman, kematian bukanlah akhir yang menakutkan. Sebaliknya, dalam pandangan Islam, seseorang yang telah mempersiapkan diri dengan amal shaleh dan selalu mengingat mati akan siap menghadapi akhir hidupnya dengan tenang. Puisi ini mengingatkan kita tentang pentingnya untuk tidak menunda-nunda dalam melakukan amal baik, karena waktu kita di dunia ini sangat terbatas.

Pulo Lasman Simanjuntak: Kematian sebagai Kembali ke Tuhan

Puisi Pulo Lasman Simanjuntak menggambarkan kematian sebagai sebuah proses menuju ketiadaan, “sunyi abadi, terasing,” yang bisa diartikan sebagai perjalanan jiwa menuju Tuhan, untuk kemudian kembali kepada-Nya di kehidupan yang kekal. Dalam Islam, hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa setelah kematian, jiwa akan menuju alam barzakh, dan pada akhirnya, pada hari kiamat, jiwa akan dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan Allah. Bagi mereka yang beramal shaleh, kebangkitan tersebut akan membawa mereka menuju surga, sementara bagi yang ingkar, mereka akan dihukum di neraka.

Bacaan Lainnya

Kematian bagi Pulo Lasman Simanjuntak bukanlah akhir dari segala sesuatu, melainkan sebuah perjalanan menuju Allah, tempat di mana semua amal akan dibalas. Ini menunjukkan pandangan Islam tentang akhirat sebagai kehidupan yang kekal dan sebagai tujuan akhir bagi setiap insan. Dalam QS. Al-Ankabut: 64, Allah mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, dan bahwa kehidupan akhiratlah yang merupakan kehidupan yang sebenarnya.

Kesimpulan

Kematian sebagai Fenomena Eksistensial, merupakan fenomena yang sulit dipahami dan dijelaskan secara rasional oleh manusia. Dalam sastra, kematian sering dijadikan bahan refleksi eksistensial yang menyentuh berbagai dimensi kehidupan, baik sebagai pengalaman pribadi maupun sebagai simbol keterbatasan eksistensial manusia.

Karya Tiga Penyair: Anto Narasoma, Yusuf Achmad, dan Pulo Lasman Simanjuntak menyajikan kematian melalui perspektif yang berbeda namun saling melengkapi. Narasoma menggambarkan kematian sebagai “Situasi Batas” yang tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh rasio manusia, sementara Achmad menampilkan kepasrahan dan penyesalan terhadap kematian yang datang terlalu cepat. Simanjuntak, dengan latar belakang teologi Kristen, menyoroti kematian sebagai transisi menuju kehidupan kekal bersama Tuhan.

Filsafat Eksistensial dan Kematian: Ketiga penyair ini, melalui karya mereka, memperlihatkan keterbatasan manusia dalam menghadapi kematian yang tak terhindarkan. Pandangan Heidegger tentang “Being towards death” menekankan bahwa kesadaran akan kematian memberi makna pada hidup manusia, yang tercermin dalam puisi-puisi tersebut.

Kematian dalam Islam: Perspektif teologis Islam mengajarkan bahwa kematian adalah pintu gerbang menuju kehidupan akhirat yang kekal. Dalam pandangan ini, kematian tidak hanya menjadi akhir fisik tetapi juga transisi spiritual, yang perlu dipersiapkan dengan amal shaleh.

Makna Kematian dalam Sastra: Kematian dalam karya tiga penyair ini mengajarkan pentingnya menerima kenyataan bahwa hidup memiliki akhir. Meskipun kematian penuh dengan kesedihan, itu juga membuka ruang untuk refleksi mendalam tentang eksistensi, amal, dan kehidupan setelah mati.

Demikian tulisan yang disampaikan oleh Paulus Laratmase adalah Direktur Eksekutif LSM Santa Lusia, tinggal di Biak Papua.Tulisan sastrab ini telah dipublish di website temu.kompasiana.com, sabtu 11 januari 2025.

(**/Lasman)

Pos terkait