JAKARTA – Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait peningkatan kompetensi tukang gigi sebagai solusi mengatasi kekurangan dokter gigi di Indonesia memunculkan reaksi keras, salah satunya dari Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PGDI). Dalam keterangan persnya, Ketua Umum PB PGDI drg Usman Sumantri menyebutkan solusi yang ditawarkan Menkes tersebut dikhawatirkan akan menurunkan standar keselamatan dan kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
“Harus diingat menjadi dokter gigi bukan sekadar bisa mencabut atau membuat gigi tiruan. Profesi ini memerlukan pendidikan tinggi yang panjang dan ketat, termasuk pelatihan klinis dan penguasaan ilmu medis yang luas,” papar Usman, Selasa (15/4/2025).
Ia mengingatkan dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disebutkan bahwa hanya tenaga medis dan tenaga kesehatan resmi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang dapat memberikan layanan kesehatan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga berpotensi dipidana.
“PB PGDI menegaskan baahwa memperbolehkan pihak non-profesional menjalankan praktik medis adalah tindakan yang melanggar hukum dan berisiko terhadap keselamatan pasien,” tambahnya.
Menurutnya, tukang gigi merupakan praktik tradisional yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan Permenkes No 39 Tahun 2014, mereka hanya diperbolehkan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sederhana, tanpa tindakan medis, dan dengan izin praktik tertentu. “Mereka bukan bagian tenaga kesehatan resmi, tidak menempuh pendidikan kedokteran gigi, dan tidak dibekasi pemahaman tentang anatomi, patologi serta pengendakian infeksi,” terang Usman.
Karena itu, memperluas kewenangan tukang gigi hingga menyentuh ranah tindakan medis, jelas Usman, bukan solusi tepat, melainkan langkah mundur dalam system pelayanan kesehatan.
Lebih lanjut Usman mengakui bahwa masalah kekurangan tenaga dokter gigi memang nyata. Saat ini Indonesia kekurangan lebih dari 10.000 dokter gigi. Dari 32 fakultas kedokteran gigi yang aktif, hanya sekitara 2.650 lulusan yang dihaasilkan setiap tahunnya. Bahkan enam faakultas FK gigi yang baru berdiri belum meluluskan dokter gigi.
Namun tantangan terbesar bukan hanya jumlah melainkan juga soala distribusi. Banyak daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan yang tidak memiliki dokter gigi atau fasilitas memadai. “Rasio dokter umum melayani sekitar 5000 penduduk, sedang dokter gigi bisa melayani hingga 55.000. penduduk,” tegas Usman.
Wujudkan Revolusi Kesehatan Gigi
PB PDGI mengajak Kemenkes mewujudkan revolusi kesehatan gigi nasional untuk bersama-sama mengakselerasi integrasi dimensi oral health dalam kebijaakan kesehatan nasionaal. Dengana sinergi yang kuat, kesehatan gigi bisa menjadi entry point penguatan layanan primer yang menyeluruh dan berdampak luas.
Untuk itu, PB PDGI mengusulkan model integrasi yang lebih luas tidak hanya terbatas pada skrining tetapi juga pemberdayaan masyarakat melalui:
- Peningkatan literasi kesehatan gigi dan mulut dengan pendekatan berbasis komunitas, bekerja sama dengan kader, perawat gigi dan bidan.
- Penugasan strategis dokter gigi pasca internship di daerah. Prioritas dengan insentif dan jaminan karier.
- Pemaanfaatan teledentistry dan teknologi digital untuk menjangkau masyarakat terpencil secara efisien.
- Pendidkan berkelanjutan dan redistribusi tenaga spesialis secara adil dan berbasis kebutuhan.
- Pelaksanaan SIP yang berbasis data kebutuhan tenaga kesehatan seperti diatur dalam pasal 263 UU No 17 / 2023.
- Pelatihan dasar promotive-preventif bagi kader dan tenaga pendukung, dengan pengawasan dokter gigi untuk memperluas jangkauan tanpa mengorbankan mutu.
- Program pendidikan berkelanjutan, menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi dokter gigi yang sudah ada dengan kewenangan tambahan hanya pada daerah-daerah yang belum ada dokter gigi spesialis.
Dengan solusi yang berbasis regulasi, bukannya kompromi terhadap mutu, PB PGDI yakin pelayanan kesehatan gigi yang berkualitas dapat menjangkaau seluruh lapisan masyarakat, tanpa harus mengorbankan keselamatan pasien.
“Tukang gigi adalah bagian dari sejarah sosial kita, namun bukan jawaban atas kebutuhan pelayanan kesehatan yang professional. Jangan biarkan masyarakat menerima layanan setengah matang hanya karena alasan pragmatism,” tutup Usman.