Sehingga dijadikan pegawai kerajaan (lengkap dengan pangkat/gelar dan segala fasilitas hidup).
Kerja mereka hanyalah mencipta yang ciptaan mereka kemudian diatasnamakan raja.
Ketika zaman itu sudah surut, maka sastrawan menjadi pribadi yang otonom, yang seringkali dianggap profesi yang menghasilkan.
” Itu sebabnya, mereka kini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah, sehingga sebagai pribadi otonom mereka harus membiayai apa-apa sendiri.Mereka harus mencari sponsor sendiri,” ucapnya.
Ditanya lagi apakah itu Filsafat Bahasa? Maka, yang harus digarisbawahi, Filsafat Bahasa adalah sebuah aliran pemikiran dalam bidang bahasa, yang lahir di lingkungan Universitas Cambridge di Inggris pada akhir abad ke-20.
Aliran ini, pada dasarnya hendak mengkritisi aliran Linguistik yang sudah berjaya sejak tahun 1930-an, dengan prinsip bahwa bahasa sangat lekat dengan masyarakatnya.
Sehingga muncullah apa yang disebut ‘language games’ (tata permainan bahasa) atau konteks bahasa. Artinya, bahasa terkonteks dengan masyarakat penggunanya.
Dalam konteks itu ada nilai dan aturannya sendiri yg membedakannya dengan konteks-konteks lain.
Dalam perkembangannya, aliran Filsafat bahasa berkembang ke mana-mana (kecuali di Indonesia) dan kemudian mengilhami aliran pemikiran yang kemudian, seperti poststrukturalis, postmodern, dekonstruksi, dan seterusnya.
Sementara menyinggung tentanh masalah sosial-politik mungkin tidak menarik minat lagi oleh para penyair dewasa ini, karena memang tidak berminat.
“Tidak seperti zaman Orla, atau bahkan zaman Orba, ketika memang banyak peristiwa sos-pol yang mengilhami para penyair.Jad ini cuma masalah pilihan pada tema,” pungkasnya.(Las)