Juga apalagi jika kita melihat kolokasi lanjutan dari karya puisi Pulo Lasman Simanjuntak “manusia lama”, ” tanah berbuah”, atau “meditasi batu”. Teori apa pun untuk menguak
imaji tersebut pasti gagal, dan karena gagal, maka sajak Lasman Simanjuntak menjadi gagal.
Beruntung, ada prinsip yang mengiringi istilah ‘kebebasan penyair’ itu tadi, yakni prinsip berbahasa yang disebut “verdiktif”, yaitu dampak atau respons estetik yang muncul dari pembacanya terhadap suatu puisi.
” Dalam prinsip ini, dimungkinkan seorang penyair akan tersingkir dari imaji pada sajaknya, karena imajinya diambil-alih oleh pembacanya,” jelasnya.
Dengan kata lain, sajak Pulo Lasman Simanjuntak tersebut akan dikonstruksikan oleh para pembacanya dengan hasil yang berbeda-beda, atau tiap pembaca akan memiliki respons estetis yang berbeda-beda.
Dan, itu amat sah, mengingat awal penciptaan puisi pada umumnya dilandasi oleh imaji (gambaran/bayang-bayang) penyairnya terhadap apa pun yang ada di kepalanya.
Verdiktivitas itulah yang menegaskan bahwa puisi “Meditasi Batu” adalah meditasi yang amat tekun, sangat terfokus, amat serius, sehingga ibarat membatu, yang jika dibandingkan dengan sebuah pertarungan, si aku liris berhasil menguasai meditasinya (teknik relaksasi dalam memusatkan pikiran) dengan menikam/membungkamnya tanpa menggunakan belati.
“Hening. Terpusat. Tidak seperti umumnya orang biasanya bermeditasi yang tanpa hasil.
Pulo Lasman Simanjuntak secara verdiktif, berhasil mencapai puncak ekstasinya. Mungkin, ini juga dipengaruhi oleh pengalaman ekstra literer-nya sebagai pelayan gereja,” pungkasnya.
Eksistensi Diri
“Puisi ‘Meditasi Batu’ karya Penyair Pulo Lasman Simanjuntak menggambarkan eksistensi diri yang tertutup, sedangkan eksistensi manusia itu selalu terbuka dalam hal hubungan sosial,” ujar Penyair Giyanto Subagio yang sering baca puisi di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, TIM, Jakarta ini.
Sehingga bisa dikatakan puisi tersebut mewakili jiwa sang penyairnya yang sedang dalam proses pendakian jalan spiritual.
Meditasi adalah sebuah proses refleksi diri atau merenung dalam membaca nilai-nilai keilahian atau Tuhan.
Kehidupan adalah sebuah pertarungan, akan tetapi bukan kalah atau menang. Kemenangan sejati adalah ketika manusia sanggup melawan nafsu yang ada dalam diri.
Bayangan hitam bisa ditafsirkan sebagai simbol nafsu pada diri manusia. Hal ini tergambarkan dalam pertunjukan wayang. Esensi wayang adalah bayang-bayang. Kayon atau layar hanya media dalam adegan wayang oleh sang dalang.
” Menjadi manusia baru itu artinya harus bebas dan lepas serta merdeka dari penjajahan nafsu. Atau bisa juga disebut menjadi manusia sejati itu harus lepas dari bayangan hitam diri sendiri,” pungkasnya.(Eykel)