TEKNOLOGI AI ADA KETERBATASAN
Sementara itu Penyair Giyanto Subagio ketika di hubungi harianterbit.news di kediamannya pada Minggu pagi (19/1/2025) mengakui bahwa teknologi AI ada keterbatasan dalam hal bank naskah sastra serta kosa kata terbaru.
“Teknologi AI tetap ada keterbatasan dalam hal up date terbaru, misalnya kosa kata.Data base teknologi ini hanya sampai tahun 2022 dan 2023, sedangkan untuk tahun 2024 tak ada sama sekali.Jadi memori teknologi AI ada keterbatasan,” akuinya.
Menurut Bung Edo-panggilan akrabnya- data yang dimiliki teknologi.AI sampai tahun 2022-2023, data tahun 2024 -bahkan sampai awal tahun 2025 ini-tak ada sama sekali.
“Contoh bahasa baru atau kosa kata baru sampai tahun 2023 sedangkan untuk tahun 2024 teknologi AI sama sekali tak ada. Coba anda cek langsung di google kalau tak percaya.Ini merupakan persoalan pertama dari penggunaan teknologi AI untuk sebuah karya sastra,” ujarnya.
Dikatakannya lagi, entry data teknologi AI tak ter-update dengan baik, bahkan referensi kurang kuat.
Misalnya, bila ada sebuah karya sastra yang “viral” satu tahun sebelumnya, pada tahun 2024 belum ada di teknologi AI ini.
Persoalan kedua adalah aspek “rasa” pada karya sastra mempergunakan teknologi AI sangat ‘kering’ .Bahasa sastra yang digunakan tak memiliki roh dan nyawa.
“Dalam kritik sastra misalnya seorang kritikus sastra secara manual akan menulisnya mempergunakan akal budi dan pikiran yang alamiah dan sangat kuat.Tulisan kritik sastra juga mempergunakan rasa sebagai sebuah karya seni,” kata penyair yang sering baca puisi di area Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin di TIM Jakarta ini.
Seorang penyair dan kritikus sastra, lanjut Bung Edo tak akan mempergunakan teknologi AI ini, terutama bila menyangkut soal etika.
“Saya sepakat soal etika seperti yang dikatakan Prof.Wahyu Wibowo .Apalagi sebuah karya sastra itu diperlukan satu kejujuran dalam proses kreatif menulis.Kita sebagai penyair atau kritikus sastra generasi ‘kertas’ pasti masih pegang prinsip idealisme dan kejujuran,” ujarnya.
Bagaimana dengan generasi milenial atau Gen Z dalam proses kreatif menulis karya sastra ?
” Sungguh memprihatinkan.Gen Z tak memegang teguh idealisme.Mereka bahkan sering jadi joki dan pesanan berbayar untuk sebuah karya sastra ,” pungkasnya.
CENDERUNG MENYESATKAN
Sampai saat ini saya belum pernah menggunakan/ memanfaatkan Artificial Intellegence (AI) untuk kepentingan penulisan sajak. Meskipun AI sudah ‘menclok’ di WhatSapp, saya belum yakin AI mempengaruhi proses kreatif saya dalam menulis sajak.
“Pendatang bernama teknologi pasti punya kelemahan dan kelebihan. Kelemahan AI, antara lain data yang kita minta tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Referensi yang muncul seringkali di luar nalar manusia,” ujar Penyair dan Sastrawan Nanang R Supriyatin ketika dihubungi harianterbit.news di Jakarta, Minggu pagi (19/1/2025).
Menurutnya kelebihan AI antara lain cepat mendeteksi serta menjawab pertanyaan yang kita kehendaki.
“Dalam hitungan detik teknologi AI akan merekam dan menjabarkan kemungkinan yang tak terbayangkan di otak kita.,” katanya.
“Penyair itu tergolong manusia kreatif. Seyogyanya penyair memanfaatkan basic, pengalaman dan nalar. Teknologi bernama AI hanya tempelan-tempelan yang ada di permukaan. Kehadiran AI pun seperti ‘casing’, boleh dimanfaatkan, boleh juga tidak,” katanya lagi.
Penyair-menurut mata batin saya – idealnya beretika, tahu diri dan tidak mudah terjebak pada bahasa dan gaya yang ‘praktis’.
Penyair harus punya jiwa baja, dan tidak terkecoh dengan perkembangan teknologi.
” Idealisme adalah kata yang muncul kemudian seiring kemampuan kita dalam mengekplorasi kata-kata.Begitu pula untuk kritik sastra. Yang dibutuhkan seorang pengritik adalah referensi dari penulisan atas bahan yang dianggap benar, dan setidaknya memenuhi kriteria. Kritikus yang baik dan tulisan kritik yang bermutu tidak terjebak pada penggunaan AI,” kilah Penyair Nanang Ribut Supriyatin.
Menjawab pertanyaan tentang proses kreatif menulis karya sastra Gen Z yang cenderung mempergunakan teknologi kecerdasan buatan ini, dijawab bahwa tidak semua Gen-Z memanfaatkan AI.
“Masih banyak Gen-Z menulis sajak dengan baik. Mereka menulis sajak karena pengalaman membaca sajak-sajak yang dianggapnya baik. Dan, kehadiran AI hanya lintasan sejarah saja. Teknologi AI hadir sebagai referensi ‘palsu’ belaka. AI hadir, menurut saya, hanya sekadar hiburan.Mungkin banyak Gen-Z menjadi Ghost Writer. Ini artinya masih banyak orang memanfaatkan Ghost Writer dengan alasan malas membaca dan berpikir. Untuk proses seperti ini, maka tidak akan tumbuh dan berkembang proses kreatif kaum Gen-Z dimaksud. Mereka memprioritaskan kebutuhan AI ketimbang kemampuan berpikir,” ucapnya.
Ditambahkannya teknologi AI tidak akan pernah mengancam dunia literasi, apalagi bagi orang-orang kreatif.
“Tugas Sastrawan harus terus mengedukasi kepada generasi yang masih ‘awam’, dan memberi pandangan tentang teknologi yang sering mengecohkan mata batin kita,” pungkasnya.
Sekedar informasi tambahan, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia seperti memecahkan masalah, mengenali gambar, dan membuat prediksi.Bahkan AI mampu meniru kemampuan intelektual manusia.