Trikotomi Analisis Semiotik Puisi Pulo Lasman Simanjuntak Berjudul ‘Sepi Kapan Mencair

Apa yang dimaksud Pulo Lasman Simanjuntak
dengan “hijrah yang tumpah ruah”?

Apakah kata benda abstrak “hijrah” bisa tumpah ruah?

Hijrah dapat diartikan sebagai perpindahan. Apa kini yang dimaksud perpindahan tumpah ruah?

Seakan-akan Pulo Lasman Simanjuntak menghilangkan subjek khusus di sini agar kita pihak pembaca merasa sulit untuk menerka maknanya secara semantik.

Dan tambahan pula, rujukan pragmatik dari dua baris ini pun sukar ditangkap, kecuali suatu hijrah itu dimaknai sebagai sesuatu yang negatif atau tak mengenakkan.

Bacaan Lainnya

Baca bait 5, penutup:

sepi
kapan mencair
akankah sampai
tiba
nyawa kita turun ke liang bumi
orang-orang mati
tak punya lagi
pengharapan
kepastian

Secara sintaksis tak ada yang aneh dalam bait ini. Secara semantik apa fungsi Pulo Lasman Simanjuntak bertanya “sepi kapan mencair”?

Secara pragmatik pun apa maksud ketika sepi berhasil mencair, maka problem teratasi.

Kendatipun demikian, sepi kapan mencair ini terdengar metaforis—kiasan yang diciptakan oleh Pulo Lasman Simanjuntak —hanya saja, kiasan yang diciptakan olehnya ini bersifat pribadi, ada simbol pribadi di sini yang membuat pihak pembaca sukar memaknainya.

Setidak-tidaknya, jika para pejabat di atas ditegur oleh Pulo Lasman Simanjuntak, itu berarti aku-lirik atau ia tengah meminta agar para pejabat itu berbuat sesuatu agar mengatasi problem hidup berbangsa ini—seakan-akan Pulo Lasman Simanjuntak satu-satunya rakyat Indonesia yang paling menyedihkan dalam puisi ini, yang diperlakukan secara tidak adil.

Demikianlah pembacaan semiotik saya terhadap puisi di atas.

Pulo Lasman Simanjuntak penyair yang gemar mengutak-atik metafora—dengan kata-kata yang ia pungut di mana saja dalam ruang pikirannya.

Namun, seleksi kata itu haruslah pula diimbangi dengan kombinasi kata yang teliti dan apik seperti disarankan oleh Semiotikus Roman Jakobson dalam esai terkenalnya.

Paling tidak, jika sepi tak mau mencair, kita pihak pembaca telah mencair dengan membaca analisis puisi di atas.

Jakarta, Minggu 9 Februari 2025

**/Penulis : Narudin Pituin
Sastrawan, Penerjemah, dan Kritikus.
FB: Narudin Pituin.
HP WA: 0821-271-207-29

Pos terkait