JAKARTA -AI dapat menjebak penyair makin malas, Hanya puas dengan karya dangkal, miskin imajinasi, metafor, dan kedalaman.
Tulisan berupa karya kreatif bila butuh data dan fakta, AI begitu lemah, cenderung asbun,dan pintar ngeles.
Demikian salah satu rangkuman dari hasil wawancara tertulis harianterbit.news dengan Penyair dan Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda disampaikan di Jakarta, Rabu sore (22/1/2024).
“Artificial Inteligant (AI) saya kira cukup bagus sebagai sumber inspirasi penulisan puisi maupun cerpen. AI memberikan inspirasi awal, yang belum dalam bagi penulisan puisi dan cerpen,” ujarnya.
Nah, penyair dan cerpenis tinggal memperdalamnya.Namun, bagi penyair dan cerpenis yang malas, AI dapat menjebak mereka semakin malas dan hanya puas dengan karya-karya dangkal, miskin imajinasi, miskin metafor, dan miskin kedalaman.
“Saya berkali-kali mencoba bikin puisi dan prosa lirik dengan aplikasi NOVA, GEMINI, dan ChatGPT 40. Cukup bagus. Kita tinggal perintahkan temanya, misalnya “buatkan saya puisi cinta” atau “buatkan saya puisi sosial”, maka AI dengan cepat akan membuatkannya. Dan ketika perintah itu kita ulang, AI akan membuatkan lagi dengan relatif beda, dan pada akhir karya AI akan selalu mengingatkan “semoga ini cukup menginspirasi anda”. Artinya, karya AI memang diprogram untuk menginspirasi pemakainya. Bukan membuatkan karya jadi yang sudah matang,” kata Ahmadun Yosi Herfanda mantan Redaktur Sastra Harian Umum Republika.
Menurutnya, kelebihan AI jika ia diminta membuatkan karya kreatif, AI cukup pandai membuatkan sesuai perintah.
Tetapi, begitu AI diminta membuatkan tulisan yang membutuhkan data atau fakta, maka AI begitu lemah dan cenderung asbun (asal bunyi-red).Data dan fakta yang disebutkannya sering ngawur.
“Misalnya, ketika saya tanya “puisi sembahyang rumputan karya siapa”. Dia jawab karya Sapardi Djoko Damono. Pada saat yang lain AI menyebut karya Sutardji Calzoum Bachri. Ketika kita salahkan, AI ngeles… “maaf saya belum dilatih … ” Jadi, AI untuk perkembangannya saat ini cenderung asbun dan pintar ngeles,” ucapnya.
“Jelas sangat dibutuhkan kejujuran dan idealisme dalam menggunakan AI. Jika tidak, karya-karya kreatif, yang tidak membutuhkan kedalaman, bisa dipesankan ke AI semua. Penyair jadi malas. Tinggal menyalin saja karya-karya AI,” katanya lagi.
Ya, mengancam kejujuran dan idealisme penulisan karya kreatif.Semua bisa dipesankan ke AI. Penyair tinggal menyalinnya.Apalagi, semakin lama AI semakin pandai. Kedalaman terus diperbaiki. Raga metafor terus diperbanyak.Simbolisasi juga terus dipercanggih.
” Ini bisa menjadi ancaman bagi penyair dan semua penulis karya kreatif. Termasuk esai. AI juga makin pandai menuli esai,” pungkasnya.
AI TAK ADA NILAI-NILAI ETIKA
Hal ini sudah lama dan sering diperbincangkan kalangan ahli sastra.Namun, yang jelas walaupun dianggap lebih cerdas, ada satu hal yang tidak ada di teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Yang jelas, walaupun dianggap lebih cerdas, ada satu hal yang tidak ada di AI, yaitu nilai-nilai etika,” ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Bahasa Filsafat di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional (UNAS) ketika diminta pendapatnya oleh harianterbit.news soal proses kreatif dalam menulis karya sastra mempergunakan teknologi AI di Jakarta, Minggu (19/1/2025).
Menurut Prof.Dr.Wahyu Wibowo, karena sekalipun ada nilai etika secara universal (misalnya tentang ungkapan dilarang membunuh-ref), toh d mana pun dalam budaya yang berbeda-beda, percayalah, tidak ada nilai-nilai etika yang sama.
“Pasti juga akan berbeda-beda.Misalnya tentang kata “pembunuhan” tadi.Satu budaya akan melihatnya sebagai proses alamiah biasa, sedangkan budaya lain akan melihatnya secara atropologis misalnya, makanya ada upacara-upacara dan ritual lainnya,” ujarnya
Jadi, atas kebesaran Tuhan tidak mungkin kehidupan manusia ‘diseragamkan’ oleh adanya AI.
“Lihatlah sebuah taman bunga, apa yang terjadi jika taman itu hanya ditumbuhi bunga berwarna putih.Marilah merenung, apakah ada sesuatu yang baru di bawah langit?” tanyanya.
Jadi kalau ditanyakan apakah AI mengancam proses kreatif menulis karya sastra-termasuk kritik sastra-jawabnya tentu tidak. Kalau makna kritik adalah “bedah” (kritein), apakah ada metode “bedah” yang seragam ?
Menjawab pertanyaan apakah seorang penyair dalam.proses kreatif menulis puisi boleh mempergunakan teknologi AI yang merupakan teknologi yang memungkinkan mesin untuk meniru kecerdasan manusia ?
“Mencipta karya puisi dengan bantuan AI, okelah. Tapi menilai puisi tersebut dengan AI, ini menjadi suatu pertanyaan.Oleh karena itu, tanggung jawab para dosen sastra adalah mengembangkan proses berpikir kritis (critical thinking) kepada para mahasiswanya. Jangan, para mahasiswa hanya dipercayakan kepada gadget semata.Sementara kritikus sastra yang menulis dengan meminjam teknologi AI, menurut saya, kritikus tersebut kurang percaya diri,” tutup Prof.Dr.Wahyu Wibowo yang dikenal sebagai penulis 50 judul buku sastra, jurnalistik, dan sebagainya.