JAKARTA, Hasil wawancara dengan sejumlah sastrawan, penyair, dosen, budayawan, penulis, jurnalis, musikus, dan komponis musik klasik yang diajukan harianterbit.news dalam pekan ini.
Ternyata mereka hanya ‘membidik’ teknologi kecerdasan buatan (AI) ini hanya pada kurun waktu MASA KINI dengan sudut pandang berbagai ‘kelemahan’ dan ‘kekurangan’ teknologi AI.
Khususnya untuk sebuah proses karya kreatif dunia literasi termasuk karya sastra.
Mereka ternyata tidak mengantisipasi dan pandang ke MASA DEPAN untuk teknologi artificial intelligence ini.
Untuk pandangan MASA DEPAN (25 tahun atau 30 tahun mendatang -red) yang akan dinikmati oleh generasi alpha, atau generasi apa namanya pada saat itu.
Pada masa lalu -sekitar 30 tahun lalu- ketika saya jadi reporter muda Harian Umum.Sinar Pagi , saya pertama kali melihat penggunaan INTERNET di.ruang kaca (kedap suara) di Kantor Humas Departemen Pekerjaan Umum (PU) Jln.Pattimura, Kebayoran Baru , Jakarta Selatan.
Sebagai reporter dan penyair muda -saya bilang begini kepada para pewarta- ada Harian Umum Pos Kota, Suara Karya, Berita Yuddha, Berita Buana, Republika, Kompas,LKBN.Antara, KNI, RRI,dan masih banyak lagi.
“Ah, teknologi INTERNET itu biasa-biasa aja kok. Hanya untuk penyimpanan data base doang, itu pun untuk keperluan petugas Humas Pemerintah saja.Jadi INTERNET belum bisa dikatakan teknologi hebat atau canggih,” kata saya saat itu masih pandang INTERNET untuk MASA KINI (tiga puluh lima tahun.lalu-red).
Namun pada MASA DEPAN (2025) apa yang terjadi sekarang ini, teknologi INTERNET ternyata berkembang sangat pesat.
Tak perlu lagi saya ceritakan di sini, karena kita semua sudah menikmatinya, termasuk kecanggihan multimedia dan media sosial melalui aplikasi cyber atau daring.
Beberapa puluh tahun lalu jaringan google juga demikian.Data base belum lengkap.
Namun lihat sekarang, masih lebih terdepan google dibandingkan AI.
“Wah kalau ini (masa depan-red) aku tak bisa komentar dan enggak berani jawab deh.Soalnya perkembangan teknologi AI sangat cepat intelligence-nya jauh melebihi manusia,” pungkas Komponis & Pianis Ananda Sukarlan ketika dihubungi penulis di Jakarta , Senin siang (271/2025).
Berikut adalah pertanyaan tertulis yang diajukan harianterbit.news dari berbagai sumber penyair mengenai penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Khususnya pada proses kreatif menulis karya musik (klasik), sastra (puisi/sajak) dan kritik karya sastra.
Pertanyaan Tertulis :
1.Apakah tanggapan anda terhadap teknologi AI untuk proses kreatif menulis karya sastra ?
2.Apa ‘kelemahan’ dan ‘kelebihan’ teknologi AI ?
3.Apakah dibutuhkan KEJUJURAN, ETIKA dan IDEALISME penulisnya dalam menggunakan teknologi AI baik untuk sebuah karya musik (klasik) puisi atau kritik sastra?
4.Bagaimana tanggapan untuk generasi milenial (Gen Z) yang paling banyak mempergunakan teknologi kecerdasan buatan untuk melahirkan karya musik dan sastra-termasuk puisi dan sajak- yang cenderung “kering” dan “tak ada roh” , bahkan mereka jadi semacam joki untuk pesanan karya sastra berbayar?
5.Apakah teknologi AI ini akan ‘mengancam’ dunia literasi sastra di Indonesia ?
(Lasman Simanjuntak)