Nah itukan sebetulnya lukisan? Cuma, gimana melukisnya? Hanya musik yang bisa melukisnya.
Apa AI bisa mengerti metafora sedalam dan seindah itu? Saya kok tidak percaya. Keindahan dan kedalaman artistik itu tidak untuk dimengerti, tapi untuk dirasakan. AI itu “I”nya Intelligence, bukan Emotion.
Gini. Kita tuh sebetulnya sudah punya Intelligence yang natural. Tapi ternyata kecerdasan itu tidak berguna! Lihat saja, itu cuma dipakai untuk berantem bahkan sampai perang. Bahkan banyak yang tidak senang kalau kita berhasil, dan bukannya bergabung untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik bersama-sama demi tujuan yang lebih baik.
Namun, malah mencoba menjegal orang lain, dengan “intelligence” kita. Apalagi kalau sedang jatuh cinta, langsung deh otak itu “hang”, dan susah di restart.
Masih mengaku “intelligent”? Ya ternyata tidak kan? Jadi kita bikinlah Intelligence yang Artificial, yang palsu. Nah, kita yang sebetulnya bodoh tuh jadi kelihatan pintar kalau memakai AI. Tidak bisa bikin musik, puisi, lukisan, tapi jadi bisa, terus kita pamerkan di media sosial sebagai karya kita sendiri. Tapi ternyata AI banyak mengambil alih tugas kita, AI merebut banyak lapangan pekerjaan, jadi kita berpikir, mungkin kita ini sebetulnya tidak terlalu pintar untuk sampai menciptakan AI.
Dimana artificial intelligence itu menjadi lebih intelligent daripada natural Intelligence yang kita miliki sejak lahir. Kita jadi kelihatan tambah bodoh!
Kesimpulannya, kita cukup pintar untuk menciptakan AI, cukup bodoh untuk membutuhkannya, dan begitu bodohnya kita sehingga kita tidak dapat menyadari apakah kita memang membutuhkan AI atau tidak.
Apakah dibutuhkan kejujuran, etika, dan idealisme penulisnya dalam menggunakan teknologi AI baik untuk sebuah karya musik atau kritik musik ?
“Ahahahah …. ya tentu saja tidak! Dengan menggunakan AI tapi mengakui bahwa karya tersebut adalah karya kita, itu saja sudah tidak jujur, tidak etis dan jauh dari idealis. Kan itu hasil pikiran orang —eh mesin– lain, bukan hasil pemikiran kita. Kok ngaku-ngaku? kilahnya.