Narudin Pituin Meluruskan Doddi Ahmad Fauji

JAKARTA-Bermula dari tiga sastrawan doktor yang menghubungi saya secara pribadi bahwa tulisan Doddi Ahmad Fauji harus direspons karena bertendensi negatif—sentimen negatif ini tidak sehat.

Alhasil, saya membaca tulisan Doddi Ahmad Fauji itu—berupa esai emosional yang tak apik dan kualitasnya mencemaskan, mengenai tiga pokok.

Pokok pertama tentang ketidaksenangannya terhadap kritik sastra saya terhadap kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dan buku puisi Maman S. Mahayana, Jejak Seoul (2016).

Sudah lama sesungguhnya hal ini. Namun, agar Doddi pemahamannya bertambah baik, saya uraikan baranglah sedikit demi pencerahan bagi dirinya sendiri dan bagi khalayak ramai agar yang benar dan objektif tetaplah dalam kebenarannya dan keobjektifannya.

Kredo puisi Sutardji bertentangan dengan prinsip dasar Semiotika bahwa setiap kata membawa arti dan setiap gabungan kata membawa makna.

Bacaan Lainnya

Dalih Sutardji mengembalikan kata kepada mantra atau semacamnya itu tak berlaku bagi puisi bagus—yang mengutamakan unsur kesempurnaan dimensi bahasa, sastra, dan filsafat—yang saya istilahkan dengan “trikotomi puisi yang bagus”.

Sedangkan untuk buku puisi Maman, buku itu hanya sejenis laporan perjalanan yang masih bersifat komunikatif, tidak puitis, serta cenderung boros kata-kata.

Saya selalu berharap Maman menerbitkan buku puisi kedua yang lebih menunjukkan kemahirannya dalam menulis karya sastra (dalam hal ini minimal buku puisi bagus).

Bukankah seorang kritikus sastra harus memiliki identifikasi diri dengan bukti karya sastra bagusnya sebelum mengkritik karya sastra orang lain?

Kata wartawan senior, Yurnaldi, apabila kritikus tak berkarya sastra bagus, maka runtuhlah kekritikusannya.

Pokok kedua tentang kritik sastra saya dengan pendekatan teori Dekonstruksi untuk novel Wina Armada Sukardi. Seperti tertera dalam kritik sastra saya itu bahwa memang Wina mendekonstruksi yang suprarasional menjadi rasional—wilayah Ilahi agar dipahami dalam wilayah insani.

Keanehan-keanehan dalam novel Wina termasuk apa yang dahulu disebut oleh Viktor Shklovsky dalam esai terkenalnya “Art as Device” sebagai “defamiliarisasi”.
Istilah baru yang saya gunakan untuk menganalisis novel Wina ialah “penanda transendental” sebagai lawan dari “petanda transendental” (transcendental signified) Jacques Derrida.

Pos terkait