Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka Bersama TISI, Isbedy Stiawan ZS : Republik Puitik , Soal Menjaga Kedaulatan Estetika

JAKARTA– Sastra mau tidak mau-sadar atau sebaliknya- sudah lama mempengaruhi kebijakan pemerintah, juga digunakan di ranah politik.

Jadi andaipun ada jargon bahwa politik telah viral ke seluruh lini kehidupan berbangsa, sejatinya seni-dalam hal ini bahasa sastra atau puisi- tanpa disadari kerap dan banyak dipakai pemimpin dan politikus kita, termasuk ranah hukum.

“Sampai-sampai ada anekdot, yang bukan penyair boleh ambil bagian sementara yang penyair kehilangan diksi dan imajinasi,” ujar Paus Sastra Lampung, Isbedy Stiawan Z.S.

Ketika menyampaikan prolog berjudul “Republik Puitik : Soal Menjaga ‘Kedaulatan’ Estetika” dalam peluncuran (launching) dua buku antologi puisi bersama REPUBLIK PUITIK dan MANIFESTO JABODETABEK pada acara sastra bersama Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang bertemakan ” Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka” di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB.Jassin, Lantai 4 Gedung Panjang Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Minggu siang (28/9/2025).

“Rasanya begitulah yang ingin disampaikan oleh 80 penyair dalam antologi puisi REPUBLIK PUITIK ini.Pandangan atau perpektif ke-80 penyair ini dalam.melihat, mencecap, merasakan, juga menikmati pemerintahan yang ideal yang disepakati bersama-sama.Atau sebaliknya REPUBLIK PUITIK ini baru sebatas angan-angan sekaligus hiperbola,” ucapnya.

Bacaan Lainnya

Parade baca puisi dan diskusi sastra pada peluncuran dua buku antologi puisi REPUBLIK PUITIK dan MANIFESTO JABODETABEK dalam acara sastra “Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka” -yang dibuka langsung oleh Octavianus Masheka, Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI)- antara lain dihadiri para penyair dan sastrawan besar Indonesia Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Aspar Paturusi dan istri, Halimah Munawir Anwar, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Jose Rizal Manua, Taufik Rahzen, Saut Poltak Tambunan, Ewith Bahar, Kurnia Effendi, Linda Djalil, Imam Maarif, Pulo Lasman Simanjuntak, Nanang Ribut Supriyatin, Yahya Andi Saputra, Guntoro Sulung II, Emi Suy, Nunung Noor El Niel, Nurhayati, Nuyang Jaimee, Rissa Churria, Wawan Hamzah Arfan, Humam S Chudori, Wig SM, Heryus Saputro, Adri Darmaji Woko, Mustari Irawan, Budhi Setywan, Alex R Nainggolan, dan masih banyak lagi.

Menurut Isbedy Stiawan ZS- Sastrawan dan Jurnalis yang telah melahirkan 50 buku sastra ini- Republik.Puitik seakan-akan telah terjangkit sampai kepada pemangku kekuasaan.Bahasa simbolisasi, metafora, diksi-diksi yang rasanya imajinatif sekali, yang biasanya digunakan sastrawan telah dipakai pula pemimpin bangsa ini.

“Selain itu secara harfiah Republik Puitik berarti negara yang puitis atau republik yang indah secara bahasa dan penuh imaji.Republik Puitik, demikian saya kutip pemaparan Ketua TISI Octavianus Masheka juga bisa menggambarkan gaya kepemimpinan yang menggunakan bahasa yang indah, kiasan, dan imaji untuk menyampaikan pesan kepada rakyat.Gaya ini bisa menciptakab suasana yang lebih emosional dan meyakinkan,” kata penyair dari Tanjungkarang, Lampung, yang tahun 2025 ini telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi berjudul Elegi Galian Tambang, Satu Ciuman, Dua Pelukan, serta Menunggu Tiba.

Puisi Sebagai Pembentuk Imajinasi Bangsa

Sementara dalam epilog berjudul “Peran Puisi dan Penyair Dalam Kemerdekaan Indonesia” , Sofyan RH Zaid, mengatakan bahwa Benedict Anderson, sejarahwan dan pakar politik dunia menegaskan bahwa negara-negara pada awalnya adalah komunitas yang dibayangkan.

Komunitas dalam.konteks biologi merupakan gabungan dan individu yang sejenis.

Menurut Benedict, puisi bersama teks-teks lain melalui percetakan adalah sarana utama untuk mendukung dan mendorong ‘bayangan’ tersebut mewujud.

Bahkan, walau semua anggotanya tidak saling kenal atau bertemu, sebab yang terpenting mereka memiliki imajinasi yang sama.

“Dengan demikian, puisi apapun pengertiannya memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan suatu negara bangsa, termasuk Indonesia.Mula-mula puisi berperan sebagai pembentuk imajinasi kebangsaan.Puisi yang mengusung bayangan akan tanah air baru yang masyarakatnya bebas dari penjajahan dan perbudakan,” jelas penyair kelahiran Sumenep 8 Januari 1986 yang merupakan alumnus Filsafat Agama, Universitas Paramadina Jakarta ini.

Puisi juga berperan sebagai senjata simbolik yang terlibat dalam perjuangan, walau secara tidak langsung.Kata-kata yang menjadi “peluru” yang melengkapi perjuangan bersenjata baik berupa kritik, propaganda, atau pembangkit spirit perjuangan.

Kita tahu perjuangan kemerdekaan tidak hanya dilakukan perang gerilya, namun juga perang ‘kata’ yang menjadikan puisi sebagai senjata simbolik untuk.melawan penjajahan.

Buku Republik Puitik sendiri merupakan antologi monumental yang diberi subjudul 80+ Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka.

Karya ini bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan refleksi perjalanan panjang bangsa dalam lensa estetik para penyair.

Puitik Sifat Keindahan Bahasa

Penyair Nanang Ribut Supriyatin sebagai Editor sekaligus Moderator peluncuran (launching) buku antologi puisi 80+ REPUBLIK PUITIK “Penyair Membaca 80 Tahun Indonesia Merdeka” mengatakan puitik dapat digambarkan sebagai sifat keindahan bahasa serta bagaimana seseorang mengekspresikan melalui bentuk puisi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *