JAKARTA-Olah tubuh, dalam konteks ini, melampaui definisi latihan fisik semata. Ia merupakan proses yang menyatukan cipta, rasa, dan karsa, menghasilkan ekspresi diri yang kaya dan kompleks. Gerakan tubuh menjadi bahasa universal yang melampaui batasan verbal, mengungkapkan nuansa emosi dan pemikiran yang seringkali sulit diutarakan dengan kata-kata.
“Rangkaian kata-kata puisi diwujudkan bukan melalui lisan, melainkan melalui bahasa tubuh yang terampil dan penuh makna. Ini adalah “speak up” dalam bentuk yang paling murni, sebuah pernyataan diri yang kuat dan berwibawa.”
Ketajaman dan kritik tak perlu diumbar melalui teriakan atau pernyataan keras. Justru, dalam kelembutan gestur dan kehalusan gerakan, tersimpan kekuatan yang mampu menusuk lebih dalam ke relung hati. tarian yang menggambarkan kemarahan, bukan dengan gerakan kasar dan agresif, melainkan melalui getaran halus yang terpancar dari setiap pori-pori tubuh.
Ini adalah seni menyampaikan pesan dengan cara elegan dan penuh daya pikat, seni yang membutuhkan kedalaman pemahaman diri dan penguasaan teknik mumpuni.
Seringkali, keberanian mengungkapkan kebenaran diri terhambat rasa takut dan keraguan. Luka batin terpendam menjadi penghalang ekspresi diri yang jujur dan autentik.
Namun, melalui tari, kita dapat melepaskan beban tersebut. Gerakan tubuh menjadi media efektif untuk mengeksplorasi emosi terpendam, mengungkapkan kebenaran tersembunyi di balik topeng sosial.
Dalam setiap gerakan, terdapat proses penyembuhan dan penemuan diri yang berkelanjutan. Tari menjadi terapi, sebuah perjalanan menuju pemahaman diri yang lebih utuh.
Perjalanan pribadi saya dalam dunia tari dimulai sejak usia dini, tepatnya 2,5 tahun. Bapak, dengan penuh kesabaran, mengajarkan dasar-dasar tari.
Namun, seperti perjalanan hidup kebanyakan, perjalanan tersebut tak selalu mulus. Ada masa-masa di mana saya harus menghentikan latihan karena kesibukan dan tuntutan kehidupan.
Namun, panggilan untuk kembali menari tetap ada, dan akhirnya, di usia 30 tahun, saya menemukan kembali gairah dan semangat tersebut. Jeda waktu panjang tersebut bukanlah kerugian, melainkan proses pembelajaran berharga.
Analogi antara olah tubuh dan puisi sangat kuat. Puisi menggunakan kata-kata untuk menciptakan irama, rima, dan emosi mendalam. Tari, di sisi lain, menggunakan gerakan tubuh untuk menyampaikan hal yang sama, bahkan mungkin dengan cara lebih langsung dan menyentuh. Keduanya adalah bentuk seni yang mampu membangkitkan empati, menciptakan dialog batin, dan mengaduk perasaan pendengar atau penonton.
Dalam tari, setiap gerakan adalah sebuah kata, setiap rangkaian gerakan adalah bait puisi yang tercipta secara visual dan kinetik. Keduanya saling melengkapi, menciptakan sinergi luar biasa.
Bionarasi Penulis :
Erna Winarsih Wiyono, lahir di bulan Oktober, adalah Jurnalis, Visual Artist, Creative Director, Indonesia Dancer. Perjalanan kreatifnya dimulai sejak kelas 4 SD, terinspirasi oleh Majalah Bobo yang membangkitkan kecintaannya pada dunia tulis menulis, khususnya puisi. Bakat seninya berkembang pesat setelah ibunya, Neneng Sunarsih Wiyono, memperkenalkannya pada seni rupa di tahun 2009. Antara tahun 2012 dan 2014, ia menjelajahi dunia seni rupa melalui pertukaran budaya, pembelajaran bahasa asing, dan berbagai workshop.
Kembalinya ke Indonesia pada pertengahan 2015 menandai kebangkitan kembali gairah menulisnya. Ia aktif bergabung dalam berbagai komunitas sastra, seperti JAGAT SASTRA MILENIA (JSM), dan komunitas seni rupa, termasuk KamiSketsaGalnas, KOLCAI, Bogor Sketchers,Perupa Perempuan Bogor, KOMPPI, dll
Prestasi sastranya mencapai puncaknya dengan diterbitkannya buku puisi tunggal pertamanya, TEA WITHOUT SUGAR, oleh Teras Budaya Jakarta pada tahun 2018, buah kemenangannya dalam Lomba Penulisan Kreatif 2017. Kemenangan ini juga memberinya kesempatan tampil di Woman Poetry Slam 2017 di Bali. Karyanya telah dimuat dalam berbagai antologi puisi.
Selain aktif dalam dunia sastra, Erna, yang akrab disapa Nana, juga seorang penampil puisi yang bersemangat. Ia berpartisipasi dalam Women Poetry Slam 2017 & 2018 di Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), serta berbagai acara literasi lainnya. Karyanya juga menghiasi berbagai media online dan cetak, seperti fimela.com, Majalah Purakasastra, theAsianparent, dll
Keahliannya meluas ke dunia seni rupa. Ia aktif melukis dan telah berpartisipasi dalam berbagai pameran seni rupa di Indonesia, termasuk pameran di TIM Cikini, Rumah Dinas Walikota Bogor, Galeri Nasional Indonesia, dan berbagai galeri lainnya.
Erna juga seorang penari. Ia telah mengikuti Kelas Budaya Tari Jindo Buk di bawah bimbingan Lee Kyung Hwa, PhD, seorang tokoh terkemuka dalam tari tradisional Korea. Ia bahkan menciptakan tari kontemporer “Pulang Kembali pada Raga” bersama ayahnya, Antonius Wiyono, Komitmennya pada eksplorasi budaya internasional diakui dengan pengangkatannya sebagai HR 2025 oleh Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea pada 30 April 2025.
Penulis : Erna Winarsih Wiyono (Nana)








