Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional : Dalam Proses Kreatif, Karya Puisi Pulo Lasman Simanjuntak Cenderung Bergulat Dalam Sepinya

Ia selalu merasa “terjebak dalam sebuah permukiman liar”, yang selalu dibanjiri air mata. Ia selalu berharap bahwa ia memang mesti selalu bergerak dalam kesakitan panjang, sementara usia terus saja beranjak.

“Pilu memang membaca puisi karya Pulo Lasman Simanjuntak.Dan, kepiluan itu melalui daya perlokutif tertentu mampu bersifat universal. Lasman Simanjuntak memang manusia sepi yang tak hentinya berefleksi tentang hidupnya,” pungkasnya.

Sejak tahun 1980-an karya puisi Prof.Dr.Wahyu Wibowo telah diterbitkan dalam buku antologi puisi “Liang Luka” (1989)- ” Mata Sembap” (1991)- dan “Cinta Batu, Batu Cinta (1992).Ia juga menulis buku ilmiah mengenai jurnalistik, bahasa, sastra, dan kepenulisan pragmatik, yang rata-rata mengalami cetak ulang.

Enam Puisi Pilihan Terbaik

Sementara itu di bawah ini sejumlah karya puisi Pulo Lasman Simanjuntak, penyair yang karya puisinya telah diterbitkan dalam 7 buku antologi puisi tunggal dan 35 buku antologi puisi bersama para penyair seluruh Indonesia.

Bacaan Lainnya

Karya puisinya juga telah sejak tahun 1980-2024 telah dimuat pada 23 media cetak (koran, suratkabar mingguan, dan majalah) serta tayang (dipublish) di 238 media online (website).Dalam tiga tahun terakhir ini karya puisinya juga telah “go internasional” sampai ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Republik Demokratik Timor Leste, Bangladesh, dan terakhir India.

Teks Foto : Penyair Pulo Lasman Simanjuntak sedang baca puisi berjudul “Dinihari Musim Semi” karya Penyair dan Budayawan Abdul Hadi WM pada puncak acara perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) ke-12 di Teater Kecil Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat pagi , 20 Desember 2024.(Foto : Lily Multatuliana)

SajakSajak Pilihan Awal Tahun 2025

Pulo Lasman Simanjuntak

DARI BENUA LAIN

dari benua lain
kucuri jejak membatu
kemarau pecah di tangan kiri
seperti suara riuh
pesta rakyat semu
masihkah engkau bermukim di situ ?

matahari melepuh
dalam sajakmu
tak mampu lagi meninju jasadku

“aku datang tanpa topeng, seperti dulu kita pernah memburu para pekerja malam di pinggir kotamu.”

Pos terkait