lama engkau sodorkan sumur-sumur subur
menggairahkan cuaca yang surut
dalam permainan kata
permainan makna
di depan pintu gerbang itu
sepiku terperosok
ke dalam selokan
kurenangi tangis
sungai keruh
bulan menganga
bintang-bintang terjaga
di pintu halaman rumahmu
aku berlari kencang
membawa salib
jati diri
tak bertemu
jarak tegak
berkilometer tangisan sudah kusentuh
ratusan perjudian liar
sudah kukunyah
sampai kenyang
dari hotel berbintang tiga
turun lagi ke jagad sejati
sepucuk surat genap
melenyapkan angan debat yang purba
Jakarta , Juli 1997
RUMAH MUNGIL TANAH MERDEKA
rumah mungil tanah merdeka
di sini puisiku bernyanyi
bersama santi
berwajah matahari
disodorkan busana
warna putih
masa kanak-kanak
lalu memanjang
membentur pohon rambutan
porselen antik
jadi perhiasan mati
hanya wajah Yesus
ada di jantung kami
sehingga apa saja
tergenang dalam sejarah
dalam rumah tua
boneka panda di kursi, patung porselen, kelinci putih menggelinding dari matahari tuli
nikmat kami menghitung hari-hari
tak pernah tertulis
dalam almanak
lalu kami menembus hujan lebat
sore hari
mengumpulkan sunyi seperti bakteri
cinta birahi liar
jadi penyakit kelamin
lelaki insomnia
setengah hati
Jakarta, Rabu, 31 Agustus 2022
TUNTAS
duka siapa mau menyergap
di rimba kamarmu
sejarah berterbangan
tak pernah bercumbu
dengan matahari pagi
hanya sepotong roti tua
disuguhkan pria perkasa
bersenjatakan roh ketakutan
digelar di meja judi
tertangkap angin jahat
pada tiap dinihari
kini kita saling menjaga jarak
ruang dan waktu
tak pernah lagi saling bertemu
kadang kita melepas rindu
menulis berita online
tentang kapal digital, samudera raya
air laut yang merembes
sampai ke penjara di benua orang-orang mabuk kekayaan
sekarang tersisa
hanya doa berdarah saudara- bersaudara
sejam masa kanak-kanak
rasa sesal mengapa dulu kita tak lagi rajin berenang di sungai membusuk
depan rumah
ataukah menghitung
sejumlah perkawinan retak
mulai dari pewarta muda
pujangga teler sampai perwira mualim
yang sempat terjebak
mengurai kesepian di rumah kelam