Sunyi lebih kepada audio, sepi lebih kepada visual, dan hening lebih kepada kondisional.
Selera sintaksis dan semantik Pulo Lasman Simanjuntak bagus di sini dalam bungkus personifikasi (gaya bahasa pengorangan), yakni sunyi bisa merayap, sepi bisa tiarap, dan hening bisa berharap.
Akan tetapi, baris “hidup nyaris kiamat” semacam kalimat negasi dari seluruh personifikasi itu atau malah kalimat afirmasi dari seluruh majas pengorangan itu, yang dalam hal ini, hidup hampir hancur itu akibat enumerasi sunyi, sepi, dan hening yang diberi nyawa oleh Pulo Lasman Simanjuntak dengan bunyi huruf “p” yang menekan napas yang terasa pengap, ap—ap—ap, karena tak memberi jalan keluar udara dari mulut akibat kedua bibir terkatup rapat.
Secara pragmatik, tentu saja kita pihak pembaca di sapa secara umum dalam bait puisi 1 ini—kita semacam objek penderita dari seluruh atribut yang Pulo Lasman Simanjuntak suguhkan.
Baca bait 2:
aku bertanya lagi,
tetapi pertanyaanku yang membeku
membentur jidat para pejabat
tak mau lagi berjabat erat
Secara sintaksis bait ini biasa strukturnya, secara semantik, mengapa tiba-tiba muncul objek para pejabat yang tak mau lagi berjabat erat.
Pulo Lasman Simanjuntak di sini tak memberikan cahaya kepada kita mengapa para pejabat itu tak mau lagi berjabat erat.
Secara pragmatik, kita bertanya-tanya mencari alasannya pada bait berikutnya.
Baca bait 3:
ketika berita kusebar
makin berkarat
ketika siaran kudendangkan
makin melarat
Secara sintaksis bait ini pun dengan struktur yang biasa. Secara semantik, ada pihak yang dirugikan di sini dengan kata-kata tak bagus “berkarat” dan “melarat”.
Secara pragmatik apa atau siapa yang semakin berkarat, apa atau siapa yang semakin melarat?
Subjek dalam puisi Pulo Lasman Simanjuntak bersifat kompleks.
Jika kita tak cermat membaca puisinya, subjek dalam puisi ini akan kita tebak sekenanya.
Baca bait 4:
dengarlah,
oi, para pewarta
oi, para pujangga
di ujung otot usia menua
di muara ibu negeri
hijrah tumpah ruah
Secara sintaksis di bait ini digunakanlah kalimat-kalimat imperatif dengan kata pengantar sapaan atau seruan “oi”—bukankah lucu kata “oi” yang berupa diftong yang memaksa mulut kita yang mengucapkannya mengerucut ini?